Filsafat manusia dirumuskan sebagai suatu
refleksi atas pengalaman manusiawi untuk memperoleh paham tentang kedudukannya yang khas di
tengah makhluk lainnya. Dalam refleksi
tersebut, eksistensi (ex-sistere). Dengan keluar dari diri,
manusia menjadi diri Paradoks eksistensi. Dalam hal ini hubungan manusia dengan dunia
menjadi pokok pembahasannya.
Berada sebagai manusia berarti
memanusiakan dunia. Manusia menjadi manusia dengan memanusiakan dunia. Proses
humanisasi ini disebut dnegan “membudaya”. Manusia sebagai makhluk membudaya
berperan sebagai tuan sekaligus abdi. Ia bertindak sebagai tuan dnegan
mamahlukkan alam. Akan tetapi, ia membutuhkan abdi yang membutuhkan alam dan
harus menaati hokum-hukum alam dengan segala yang ada didalamnya.
Kebudayaan merupakan jawaban khas manusia atas semacam
situasi yang dihadapinya. Situasi itu beraneka ragam. Manusia
sebagai makhluk biologis berbeda situasinya dengan manusia sebagai makhluk
sosial, dan lain lagi dengan manusia sebagai makhluk religius.
Situasi juga bisa menjadi lain karena perbedaan zaman dan daerah. Zaman
dulu berbeda dengan zaman sekarang Kebudayaan Timur berbeda dengan kebudayaan
Barat. Dari sebab itu dapat dikatakan bahwa kebudayaan bersifat dinamis
dan beraneka ragam.
Salah satu kegiatan membudaya ialah bekerja. Manusia
adalah makhluk bekerja. Pekerjaan manusia mendapat suatu dimensi serba
baru berkat sumber
alat-alat yang baru
dan perkembangan alat-alat teknik. Dengan dimensi manusia seperti
mata, telinga, dan mulut mendapat suatu dengan baru.
Komunikasi berkembang menjadi telekomunikasi. Evolusi alam yang serba
manusia sebagai puncaknya diambil alih dan diteruskan dengan cara bukanlah baru
melalui teknik. Pandangan atas manusia pun ikut berubah. Materi
filsafat makhluk yang bekerja, dalam lawan, melainkan kawan.
Manusia sebagai unsur Marx, menjadi suatu pengalaman induk (fait primitif) dan menjadi
paling inti dalam seluruj filsafatnya.
Kita melihat diri kita sebagai ruang. Saat demi
saat, ruang tersebut mendengar, melihat, merasa, berpikir dan bergerak. Ruang
tersebut berganti-ganti isinya. Terkadang ada pikiran atau emosi yang datang.
Semuanya datang dan pergi. Namun, ruang tetap ada. Ia abadi. Tidak ada “aku”.
Yang ada hanya ruang.
Kita lalu menemukan kebebasan, kedamaian,
kejernihan serta kebijaksanaan yang sejati. Semua ada di dalam diri kita.
Setelah terlepas dari penderitaan dan mencapai kebijaksanaan, kita lalu bisa menolong
mahluk lain dengan kejernihan.
“Manusia” adalah sesuatu yang harus dilampaui.
“Manusia” tidak punya inti. Ia semata hanya kumpulan dari berbagai unsur.
Ketika unsur itu terurai, tidak ada inti di dalamnya. Tidak ada esensi.
Setelah terurai, apa yang tersisa? Yang tersisa
adalah Sunyata, yakni kekosongan yang penuh, dan kepenuhan yang
kosong. Kembali ke titik ini, maka kejernihan dan kebijaksanaan akan datang
secara alami. Melampaui “manusia” berarti kembali ke titik ini. Hanya dengan
melampaui “manusia”, kita lalu bisa sungguh hidup dalam harmoni dengan seluruh
alam semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar