Kamis, 12 Januari 2017

Manusia dan dunianya

Filsafat manusia dirumuskan sebagai suatu refleksi  atas pengalaman manusiawi untuk memperoleh paham tentang kedudukannya yang khas di tengah makhluk lainnya.  Dalam refleksi tersebut,  eksistensi (ex-sistere). Dengan keluar dari diri,  manusia menjadi diri Paradoks eksistensi.  Dalam hal ini hubungan manusia dengan dunia menjadi pokok pembahasannya.
Berada sebagai manusia berarti memanusiakan dunia. Manusia menjadi manusia dengan memanusiakan dunia. Proses humanisasi ini disebut dnegan “membudaya”. Manusia sebagai makhluk membudaya berperan sebagai tuan sekaligus abdi. Ia bertindak sebagai tuan dnegan mamahlukkan alam. Akan tetapi, ia membutuhkan abdi yang membutuhkan alam dan harus menaati hokum-hukum alam dengan segala yang ada didalamnya.
Kebudayaan merupakan jawaban khas manusia atas semacam situasi  yang dihadapinya.  Situasi itu beraneka ragam.  Manusia sebagai makhluk biologis berbeda situasinya dengan manusia sebagai makhluk sosial,  dan lain lagi dengan manusia sebagai makhluk religius.  Situasi juga bisa menjadi lain karena perbedaan zaman dan daerah.  Zaman dulu berbeda dengan zaman sekarang Kebudayaan Timur berbeda dengan kebudayaan Barat.  Dari sebab itu dapat dikatakan bahwa kebudayaan bersifat dinamis dan beraneka ragam.
Salah satu kegiatan membudaya ialah bekerja.  Manusia adalah makhluk bekerja.  Pekerjaan manusia mendapat suatu dimensi serba baru berkat sumber alat-alat  yang baru dan perkembangan alat-alat teknik.  Dengan dimensi manusia seperti mata,  telinga,  dan mulut mendapat suatu dengan baru.  Komunikasi berkembang menjadi telekomunikasi.  Evolusi alam yang serba manusia sebagai puncaknya diambil alih dan diteruskan dengan cara bukanlah baru melalui teknik.  Pandangan atas manusia pun ikut berubah.  Materi filsafat makhluk yang bekerja,  dalam lawan,  melainkan kawan.  Manusia sebagai unsur Marx,  menjadi suatu pengalaman induk (fait primitif)  dan menjadi paling inti dalam seluruj filsafatnya.

Kita melihat diri kita sebagai ruang. Saat demi saat, ruang tersebut mendengar, melihat, merasa, berpikir dan bergerak. Ruang tersebut berganti-ganti isinya. Terkadang ada pikiran atau emosi yang datang. Semuanya datang dan pergi. Namun, ruang tetap ada. Ia abadi. Tidak ada “aku”. Yang ada hanya ruang.
Kita lalu menemukan kebebasan, kedamaian, kejernihan serta kebijaksanaan yang sejati. Semua ada di dalam diri kita. Setelah terlepas dari penderitaan dan mencapai kebijaksanaan, kita lalu bisa menolong mahluk lain dengan kejernihan.
“Manusia” adalah sesuatu yang harus dilampaui. “Manusia” tidak punya inti. Ia semata hanya kumpulan dari berbagai unsur. Ketika unsur itu terurai, tidak ada inti di dalamnya. Tidak ada esensi.
Setelah terurai, apa yang tersisa? Yang tersisa adalah Sunyata, yakni kekosongan yang penuh, dan kepenuhan yang kosong. Kembali ke titik ini, maka kejernihan dan kebijaksanaan akan datang secara alami. Melampaui “manusia” berarti kembali ke titik ini. Hanya dengan melampaui “manusia”, kita lalu bisa sungguh hidup dalam harmoni dengan seluruh alam semesta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar