Provinsi Banten memiliki banyak obyek wisata ziarah yang
tersebar sampai ke pelosok. Obyek wisata ziarah ini umumnya berupa
makam/pekuburan yang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Biasanya yang
dimakamkan merupakan seorang tokoh yang memiliki kharisma di masa lalu dan
memiliki kemampuan lebih dari manusia pada umumnya, seperti Ulama/Syeh/Wali,
Raja/Sultan, Panglima Perang, dan lain sebagainya.
Peziarah yang datang berassal dari berbagai daerah di Pulau
Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Beberapa pengunjung bahkan ada yang
berasal dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Australia dan sebagainya. Provinsi Banten, merupakan kawasan yang sebagian besar
masih merupakan pedesaan walaupun pertumbuhan teknologi serta perubahan zaman
yang terus berkembang namun masyrakat Banten sangat erat dengan tradisi ziarah
kubur. Ziarah makam tergolong tradisi yang sangat tua, barangkali setua
kebudayaan manusia itu sendiri. Tradisi ini umumnya berhubungan erat dengan
kepercayaan atau keagamaan. Tradisi, menurut Parsudi Suparlan, sebagaimana
dikutip oleh Jalaluddin (Jalaluddin, 1996: 180), merupakan unsur sosial budaya
yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakatdan sulit berubah. Meredith
McGuire (dalam Jalaluddin, 1996: 180), melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan
umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama.
Dalam satu tulisannya, Azyumardi Azra menyebutkan,
orang-orang Muslim di Banten percaya bahwa Tuhan sangat baik dan tidak akan
mengabaikan mereka; tetapi pada saat yang sama, kekuatan-kekuatan jahat dan
setan terus mendatangkan bencana, sehingga mereka terpaksa mengarahkan
aktivitas ritual kepada kekuatan-kekuatan jahat tersebut. Dalam kaitan ini pula
terjadi pemujaan terhadap orang-orang yang telah mati, yang dipandang potensial
untuk membantu mereka dalam menghadapi berbagai kekuatan jahat (Azra, 1999:
66).
Ungkapan
yang digunakan Azra dalam kalimat “pemujaan terhadap orang-orang yang mati”
mungkin terlalu berlebihan untuk menggambarkan keyakinan masyarakat Banten.
Pada kenyataannya, orang-orang Banten akan menolak kalau dikatakan mereka
memuja orang-orang yang telah mati. Lebih tepat kalau dikatakan, mereka
menggunakan arwah orang-orang yang telah mati itu sebagai perantara (wasilah) untuk
menyampaikan doa atau keinginan mereka kepada Tuhan. Arwah itu pun bukan
sembarang arwah, melainkan arwah dari orang-orang yang semasa hidupnya dianggap
sebagai tokoh, misalnya kiyai, syekh, jawara (orang sakti), atau sultan. Orang-orang Banten percaya bahwa
tokoh-tokoh itu mempunyai karomah atau keistimewaan spiritual tertentu. Ketika sudah meninggal, karomah itu dipercaya masih ada dan bisa diperoleh dari makam mereka. Oleh
karena itulah, aktivitas ziarah ke makam keramat sering disebut ngalap
barokah, yaitu mencari berkah dari keramat yang terdapat pada makam sang
tokoh.
Pemujaan
terhadap orang-orang yang telah meninggal dahulu memang ada ketika agama Islam
belum dianut masyarakat Banten. Kepercayaan semacam itu, yang disebut animisme, secara berangsur-angsur telah terkikis
dengan datangnya Islam. Diperlukan penelitian tersendiri apakah tradisi ziarah
ke makam keramat, yang menunjukkan adanya keyakinan mengenai keistimewaan
roh-roh dari tokoh tertentu, itu merupakan kompromi antara kepercayaan lama
dengan ajaran Islam atau bukan. Sebab Islam yang datang ke Banten, dan ke
Nusantara secara umum, adalah Islam dengan nuansa sufisme sangat kental. Telah
banyak dikemukakan oleh para ahli sejarah, bahwa para penyebar Islam di Jawa
hampir seluruhnya adalah pemimpin-pemimpin tarekat (Dhofier, 1982: 144). Di
Banten sendiri, pernah dan masih berkembang aliran-aliran tarekat antara lain
tarekat Syatariyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. Dalam sufisme,
ada ajaran tentang tawassul dengan para guru dan syekh terdahulu, dan ziarah
merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka tawassul. Jadi, tidak bisa
dengan serta merta dikatakan bahwa ziarah ke makam keramat merupakan warisan
tradisi pra-Islam.
Di
kalangan Islam sendiri, sebetulnya aktivitas ziarah ke makam keramat dan
doktrin tawassul masih menimbulkan pertentangan teologis yang belum
terselesaikan, antara pihak yang membolehkan (bahkan menyunahkan) dan pihak
yang membid’ahkan (bahkan mengharamkan). Pihak yang membolehkan ziarah ke makam
keramat umumnya berasal dari kalangan Islam tradisional, sedangkan pihak yang
melarang berasal dari kalangan Islam modernis. Tapi terlepas dari pertentangan
teologis tersebut, ziarah ke makam keramat merupakan sebuah fakta sosial yang
tidak bisa diabaikan, bahkan merupakan suatu tradisi atau bentuk kebudayaan
yang menarik untuk diteliti.
Menilik
tempatnya, makam yang menjadi tujuan ziarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
makam keluarga dan makam keramat. Pada makam keluarga, misalnya makam orang
tua, orang yang berziarah umumnya bertujuan untuk mendoakan arwah yang dikubur
agar mendapat keselamatan atau tempat yang baik di sisi Tuhan. Jadi, manfaatnya
bukan ditujukan untuk kepentingan orang yang berziarah, melainkan untuk
kebaikan roh orang yang diziarahi.
Ziarah ke
makam keluarga memiliki makna kultural yang hampir sama dengan halal bihalal,
di mana dalam periode tertentu, misalnya setahun sekali, orang merasa perlu
menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya untuk mengunjungi
saudara-saudara dan tetangganya. Jika halal bihalal adalah silaturahmi kepada
orang-orang yang masih hidup, ziarah kubur adalah silaturahmi kepada
orang-orang yang sudah mati. Orang yang sewaktu lebaran tidak pulang kampung
untuk berhalal bihalal, ia bisa dianggap lupa asal usul. Demikian pula, orang
yang dalam periode tertentu tidak melakukan ziarah, khususnya jika ia memiliki
orang tua yang sudah meninggal, akan dianggap anak yang tidak berbakti.
Sedangkan
pada makam keramat, aktivitas berziarah ke sana tampaknya memiliki tujuan atau
motivasi yang beragam. Hal ini mengingat bahwa orang-orang yang berziarah ke
makam keramat berasal dari berbagai daerah dan kalangan serta status sosial
yang bermacam-macam. Bahkan untuk makam keramat yang besar, penziarah bisa
berasal dari daerah yang sangat jauh, luar pulau, sampai luar negara. Adapun
makam keramat yang biasanya di ziarahi oleh penziarah diantaranya yaitu makam Sultan Agung Abdul Fatah
Tirtayasa dimakamkan di kampung Astana Desa Pakadekan Kecamatan Tirtayasa
Kawadanaan Pontang Serang Banten, Cibulakan terdapat di muara sungai Kupahandap
Kecamatan Cimanuk Kabupaten Pandeglang Banten, Makam Cicaringin terletak di daerah
Cikareo Cimanuk Pandeglang Banten, Ujung Kulon Desa Cigorondong kecamatan Sumur
Kawadanaan Cibaliung kebupaten Pandeglang Banten, Gunung Anten terletak di
kecamatan Cimarga Kawadanaan Leuwi Damar Rangkas Bitung, Gunung Pangajaran
terletak di Desa Carita Kawadanaan Labuan Pandeglang, disini tempat latihan
silat macan, Majau terletak didesa Majau kecamatan Saketi Kawadanaan Menes
Pandeglang Banten, Mantiung terletak di desa sumur batu kecamatan Cikeusik
Kewadanaan Cibaliung Pandeglang, Ki Jemah dimakamkan di kampong Koncang desa Kadu Gadung
kecamatan Cimanuk Pandegang Banten. dan lain sebagainya.
Pengertian Ziarah dan Makam Keramat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun, 1990), ziarah
diartikan sebagai “kunjungan ke tempat yang dianggap keramat atau mulia,
misalnya makam, dsb.” Dari pengertian ini, tampak bahwa yang dikunjungi dalam
kegiatan ziarah bukan sembarang tempat, melainkan tempat yang dianggap keramat,
misalnya makam atau kuburan. Selain makam, tempat-tempat yang kerap dianggap
keramat antara lain tempat lahir seorang tokoh besar (misalnya tempat lahir
Syekh Nawawi Banten di Tanahara), tempat persinggahan (misalnya situs Batu
Quran di Cibulakan, Pandeglang), dan tempat-tempat lain yang memiliki nilai
sejarah spiritual tinggi.
Pengertian
keramat itu sendiri, menurut KBBI, adalah: (1) suci dan dapat mengadakan
sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan
(tentang orang yang bertakwa); (2) suci dan bertuah yang dapat memberikan efek
magis dan psikologis kepada pihak lain (tentang barang atau tempat suci).
Dengan
demikian, secara bebas makam keramat dapat diartikan sebagai makam dari orang
yang suci atau dianggap suci oleh masyarakatnya, atau makam dari orang yang
bertakwa, atau makam dari orang yang semasa hidupnya memunyai kemampuan
tertentu di luar kemampuan manusia biasa, khususnya kemampuan dalam bidang
spiritual. Oleh karena itu, makam dari orang-orang awam biasanya tidak disebut
makam keramat, meskipun barangkali makam orang awam tersebut tetap memiliki nilai
kekeramatan tertentu bagi anaknya atau kerabatnya.
Makna Spiritual Ziarah ke Makam Keramat
Ziarah ke
makam, baik yang keramat maupun tidak, berkaitan erat dengan unsur keagamaan.
Makam, dalam banyak kebudayaan dan kepercayaan di seluruh dunia, menempati ruang
spiritual yang istimewa, bahkan menjadi pusat kehidupan keagamaan di samping
kuil-kuil pemujaan. Sebagai tempat dikuburkannya jasad orang yang sudah
meninggal, makam dipercaya sebagai tempat bersemayamnya roh-roh orang yang
meninggal itu. Berziarah ke makam merupakan cara untuk berhubungan kembali
secara spiritual dengan roh-roh tersebut.
Ziarah ke
makam juga berkaitan dengan kehidupan sosial. Orang yang ingin melakukan
sesuatu atau kebutuhan tertentu, seperti membuka lahan pertanian, melangsungkan
perkawinan, sampai berperang, merasa belum sah kalau belum meminta restu pada
roh-roh nenek moyang. Roh-roh itu dipercaya dapat melindungi mereka,
mengabulkan permohonan mereka, bahkan dapat pula menghukum kalau mereka
melakukan pelanggaran.
Penghormatan
kepada orang-orang yang telah meninggal diwujudkan dalam berbagai cara,
misalnya mengadakan upacara kematian dengan ritual dan peralatan yang rumit,
pembangunan kuburan secara mewah, di beberapa tempat disertai makanan dan harta
untuk bekal perjalanan sang arwah, sampai pendirian kuil-kuil pemujaan.
Menurut
Geoffrey Parrinder, yang dikutip oleh Zakiah Daradjat (Daradjat dkk, 1996: 43),
pemujaan terhadap orang-orang yang telah meninggal atau telah mati terdapat di
semua masyarakat. Karena itu kepercayaan terhadap hidup setelah mati ini
bersifat universal dan merupakan salah satu bentuk kuno dalam kepercayaan di
kalangan suku-suku primitif. Di Cina, pemujaan dan penyembahan terhadap para
leluhur adalah pemujaan yang sangat kuno dan merupakan salah satu unsur yang
paling diutamakan dalam agama Cina. Di Yunani, terdapat kepercayaan bahwa arwah
leluhur tinggal di makam-makam dan memiliki kekuasaan atas baik dan buruk,
sakit, dan mati. Begitu pula di Jepang, Mesir, Babylonia, Eropa, termasuk
suku-suku di Indonesia (Daradjat dkk, 1996: 41-42).
Praktik
pemujaan terhadap arwah para leluhur, yang di antaranya dilakukan dengan
persembahan korban atau pemberian sesajen, memang tidak selalu dilakukan di
makam. Dalam kebudayaan tertentu, arwah leluhur itu dipercaya bisa ada di
mana-mana, di hutan-hutan, kampung, sawah, pohon, sampai di rumah (Daradjat
dkk, 1996: 42), dan praktik pemujaannya pun bisa dilakukan di tempat-tempat
tersebut. Meskipun
demikian, kedudukan makam tetaplah menempati posisi yang paling penting.
Pada masa
sekarang pun sisa-sisa kepercayaan tersebut masih bisa dijumpai di beberapa
kebudayaan, khususnya di suku-suku yang kebudayaannya masih primitif. Di
Melanesia, terdapat cara menghubungi roh leluhur yaitu setelah selesai
penguburan mayat, mereka lalu mengambil suatu kantong dan sebatang bambu yang
panjangnya kira-kira lima sampai tujuh meter. Ke dalam kantong tadi ditaruhkan
pisang, lalu mulut kantong diikatkan pada ujung bambu, dan kantong tersebut
diletakkan tepat di atas kuburan si mati. Kemudian orang tersebut berharap dan
meminta kedatangan roh sambil memegang ujung sebelah bambu tadi. Nama orang
yang baru saja meninggal dipanggil-panggil (Daradjat dkk, 1996: 44-45). Di
Dayak Kalimantan, terdapat kebiasaan menghubungi roh orang yang sudah meninggal
dengan cara tidur di atas kuburan-kuburan sambil mengharap-harapkan mendapatkan
keberuntungan (Daradjat dkk, 1996: 45).
Kehadiran
agama-agama formal, seperti Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, dan Islam, yang
masing-masing memiliki tempat pemujaan atau rumah ibadah, tidak melenyapkan
fungsi spiritual dari makam. Malah banyak di antara tempat ibadah itu yang
didirikan di atas makam, atau makam yang dibangun di dekat tempat ibadah.
Sehingga seringkali tidak dapat dibedakan ketika seseorang berada di rumah
ibadah, apakah ia hanya melakukan sembahyang di rumah ibadah tersebut ataukah
berziarah ke makam, ataukah kedua-duanya.
Sebagai
contoh, Nabi Muhammad Saw. dimakamkan di dekat masjid Nabawi Madinah, dan makam
raja-raja Banten berada di dalam Masjid Agung Banten. Selain itu, di
makam-makam tempat ziarah terutama yang besar dan ramai hampir selalu didirikan
masjid, misalnya di makam Sunan Gunung Jati Cirebon dan makam Syekh Mansur
Pandeglang. Ini menandakan bahwa tempat ibadah (masjid) dan makam (khususnya
makam dari orang tertentu) memiliki fungsi spiritual yang beririsan.
Dalam
Islam, aktivitas ziarah ke makam keramat berkaitan erat dengan konsep kewalian
atau kesucian. Para nabi, wali, dan orang-orang suci atau orang-orang yang
dikenal memiliki ketakwaan tinggi dipercaya memiliki tempat mulia di sisi
Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah di dalam Alquran surat
al-Hujurât [49] ayat 13, yang artinya: “Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Menurut
Muhaimin AG (dalam Supriatno, 2007: xv), Ketakwaan seorang nabi atau wali
adalah model tentang orang yang telah menempuh hidup mulia sekaligus model
untuk diteladani dan dijadikan panutan bagi orang yang ingin menempuh hidup
mulia. Sebagai model, mereka layak dihormati. Penghormatan itu bisa mengambil
berbagai bentuk, salah satunya dengan mengunjungi kuburannya tempat sang
teladan diperistirahatkan untuk terakhir kalinya. Di sana, orang berdoa dan
mendoakannya. Apabila doa mereka dikabulkan oleh Allah, maka tambahan pahala
dan kemuliaan (karamah) dari doa itu akan mengalir kepada yang didoakan, dan
menambah tumpukan pahala dan kemuliaan yang ada padanya yang sesungguhnya sudah
penuh karena ketakwaan dirinya. Seakan tidak tertampung, akumulasi kemuliaan
itu lalu meluber kepada penziarah yang sekaligus berdoa tadi. Luberan kemuliaan
itulah yang disebut orang sebagai “barakah”. Barakah itu, bagi yang
merasakannya, menggejala dalam berbagai bentuk seperti kemudahan usaha,
perolehan keuntungan, terbebas dari derita, sembuh dari penyakit, hilangnya
stres, ketenangan hidup, dan bentuk-bentuk lain.
Daftar
Pustaka
Azra, Azyumardi, 1999, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah
Wacana dan Kekuasaan, Bandung: Rosda
Daradjat, Zakiah, dkk., 1996, Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara
Dhofier, Zamakhsyari, 1982, Tradisi Pesantren Studi tentang
Pandangan Hidup Kyai, cet. ke-6, Jakarta: LP3ES
Jalaluddin, 1996, Psikologi Agama, cet. ke-6, Jakarta: Rajawali Pers
Tim Penyusun, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-3, Jakarta: Balai
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar