Senin, 26 Januari 2015

Ingin Sukses? Mari Merantau


     Kalau kita amati, banyak perantau lebih banyak sukses dari pada penduduk setempat. Di Indonesia tradisi merantau juga sudah tidak asing dijumpai. Etnis Minangkabau adalah suku yang terkenal dengan kebiasaan merantaunya. Kenapa sih mereka yang berani merantau kebanyakan berhasil jadi orang sukses?
     Kalau mau sukses harus berani merantau. Mengapa para perantau bisa lebih sukses? ternyata Tuhan sudah menetapkan hukum dalam kehidupan ini.
Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. (An-nisa:100).
Kalau kita baca dengan logika,
Berdasarkan sumber hukum di atas, jawab pertanyaan ini.
Apa sebab rezeki seseorang banyak?
Jawab: sebabnya hijrah
Siapa yang akan memiliki tanah yang luas
Jawab: mereka yang hijrah
     Hijrah adalah pindah tempat. Merantau atau pindah tempat sama artinya dengan hijrah. Bagaimana Nabi Muhamaad saw bisa menguasai mekah?
Jawab: Nabi Saw sebelumnya telah berhijrah ke Madinah
     Inilah ketetapan yang bisa kita namakan sebagai logika Tuhan berdasarkan keterangan-Nya, penyebab dari ksesuksesan itu adalah hijrah.
Hijrah adalah penyebab rezeki yang banyak inilah jawaban mengapa orang-orang rantau kebanyakan sukses. wallahu 'alam....



Berguru pada Pohon Pisang


Pernahkan anda memotong pohon pisang yang sedang tumbuh? Lihatlah beberapa hari kemudian, dari sisa batang yang tidak terpotong akan tumbuh batang baru. Kalau batang baru ini dipotong lagi, akan tumbuh batang baru lagi. Dengan gigih ia akan berusaha terus untuk tumbuh, sampai akhirnya menghasilkan buah. Setelah buah berhasil dia persembahkan, dengan ikhlas dia akan mati, baik ditebang maupun tidak.
Itulah karakter pohon pisang. Ia hanya punya satu cita-cita, yaitu menghasilkan buah yang dia dipersembahkan untuk siapapun yang ingin memanfaatkannya, mulai dari burung, tupai, monyet, bahkan juga manusia. Ia dikenal sangat gigih dalam mengejar cita-citanya, dan dengan ikhlas ia rela untuk mati setelah cita-citanya tercapai.
Selain gigih untuk tumbuh, pohon pisang juga banyak akan manfaat. Coba kita amati perjalanan hidup pohon pisang. Ketika pohon pisang baru lahir dari dalam tanah, daun kecilnya sangat disukai ayam, bebek, angsa dan sejenisnya. Daun-daun segarnya sering dipatok habis oleh mereka. Walaupun daun kecilnya habis, pohon pisang kecil tetap berusaha tumbuh menjadi besar. Setelah agak besar sedikit, pohon pisang terbebas dari jangkauan ayam, namun kini giliran kambing yang mengganggunya. Ketika beranjak remaja dan berbebas dari gangguan kambing, sapi dan kerbau pun tak mau ketinggalan mengganggunya. Ketika tumbuh terus dan terbebas dari gangguan sapi dan kerbau, giliran manusia memanfaatkannya. Daun pisang terkenal multi guna, terutama untuk bungkus berbagai makanan. Anda kenal lemper, nagasari, pepes atau tempe? Makanan ini akan menjadi pilihan konsumen bila dibungkus dengan daun pisang. Ternyata, pelepah daun pisang pun sangat disukai anak-anak, untuk berbagai bentuk mainan, seperti kapal-kapalan, mobil-mobilan, dan mainan tembakan. Mainan yang mengundang kreativitas, gratis lagi.
Ketika pohon pisang mulai berbuah, sisa bunganya, yang dikenal dengan jantung pisang, banyak diminati ibu-ibu untuk disayur. Sementara itu, buahnya menjadi pilihan favorit keluarga, baik untuk buah segar maupun diolah lebih lanjut menjadi beraneka ragam panganan. Berbagai jenis makanan berbasis pisang sangat populer di masyarakat, mulai dari pisang goreng, kolak pisang, nagasari, keripik pisang, hingga es pisang hijau. Selain itu, pisang juga bisa dibuat tepung, yang dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai makanan maupun bahan baku industri.
Ternyata, kulit pisang mengandung protein yang cukup tinggi. Sekarang, kulit pisang banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak, baik diberikan secara langsung, maupun diolah dulu menjadi tepung kulit pisang. Bagi peternak kambing yang tinggal di perkotaan, limbah kulit pisang ini termasuk pakan alternatif yang banyak dicari. Tepung kulit pisang bisa digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan pakan ikan, unggas, maupun ternak ruminansia. Bahkan, kulit pisang yang sudah membusuk pun masih bisa dimanfaatkan untuk membuat pupuk organik, baik dalam bentuk padat maupun cair.
Ketika tugas pohon pisang untuk menghasilkan buah sudah usai, manusia masih memanfaatkan batangnya untuk berbagai produk, mulai dari tali, tas, sepatu, serta berbagai barang kerajinan lainnya. Bonggolnya masih dapat dimanfaatkan untuk kerupuk, bahan sayuran, atau makanan kecil lainnya. Bahkan ketika sudah membusuk sekalipun, batang pisang masih memberi tempat bagi nyaman berbagai bakteri pengurai untuk beranak pinak. Bakteri ini sangat bermanfaat untuk pembuatan probiotik, yang saat ini banyak dimanfaatkan di dunia pertanian, peternakan, maupun perikanan.
Begitulah pohon pisang, sepanjang hidupnya, bahkan hingga mati pun, selalu memberi manfaat bagi yang membutuhkannya. Ia fokus dalam mengejar cita-cita, ia pantang dalam menghadapi berbagai rintangan. Setelah tujuan tercapai, barulah ia rela untuk mati, tanpa mengharapkan balasan apapun dari pihak-pihak yang memperoleh manfaat.
Sebagai makhluk yang diciptakan sebagai khalifah di muka bumi ini, selayaknya kita berkaca pada pohon pisang. Seberapa fokus kita dalam mengejar cita-cita? Seberapa gigihkah kita menghadapi rintangan dan godaan? Seberapa ikhlas kita dalam berbagi dengan sesama? Sudahkah kita bisa memberi manfaat bagi yang memerlukan tanpa mengharapkan suatu imbalan? Akankah manfaat itu terus berlanjut setelah kematian kita? Jangan-jangan, kita belum sempat berfikir, seperti apa yang diajarkan oleh pohon pisang ini… J


Menyerah Lebih Baik Daripada Mati


Mungkin judul diatas terdengar sangat pesimis, sangat bertentangan dengan konsep pemikiran para motivator-motivator terkenal yang sering kita dengar. Apa maksud saya mengenai hal tersebut? Sebelumnya saya ingin menceritakan kisah berikut ini.
Saya punya seorang sahabat baik bernama Budi (samaran) yang merasa hidupnya selalu ditekan oleh saudara-saudaranya. Semua saudara bahkan orang tuanya selalu mengatur kehidupan Budi, baik secara sosial maupun secara finansial. Meskipun saya paham bahwa hal tersebut dilakukan untuk kebaikan Budi sendiri. Tapi Budi menafsirkan hal yang berbeda, dia merasa bahwa saudara dan orang tuanya meremehkan dia, menganggap dia tidak akan bisa menjadi kaya dan sukses.
Berbekal hasrat ingin menjadi pelatih basket di sekolah-sekolah internasional, dia rela menghabiskan sisa tabungannya (yang tidak seberapa) untuk mengambil kelas-kelas instruktur basket profesional yang biayanya cukup besar. Hal itu menurut saya bukan masalah besar. Tapi yang menjadi masalah adalah kedua orang tua Budi sudah pensiun, yang artinya pemasukan “nol”. Biaya rumah tangga kedua orang tua Budi ditanggung oleh saudaranya yang merupakan karyawan swasta, meskipun terbilang bergaji lumayan tapi tetap saja berat karena saudaranya pun sudah menikah dan punya anak, berarti ada dua keluarga yang harus dibiayai saudaranya.
Alhasil tabungan Budi habis, sambil menjalani pelatihan, Budi terpaksa bekerja sambilan di restoran untuk mendapatkan gaji bulanan sebelum dia berhasil mendapatkan income dari kelas basket ini. Karena sebelum sekolah internasional menjadikan dia karyawan tetap (digaji), Budi harus menjadi asisten pelatih senior tanpa digaji selama beberapa bulan. Biaya bulanan untuk kedua job ini tidaklah sedikit, ada biaya transport, biaya makan, dan biaya entertain (hang out bersama teman) yang setiap hari harus dia keluarkan sebelum mendapatkan gaji pada akhir bulan. Akhirnya untuk menutupi pengeluaran ini, Budi terpaksa mengambil uang sayur kedua orang tuanya yang diberikan oleh saudaranya. Cukup tragis bukan?
Tapi Budi berkata “Apa boleh buat? Saya terpaksa melakukan ini karena uda terlanjur nyemplung (ambil kursus basket). Nanti kalian lihat pasti saya akan sukses suatu hari nanti”.
Mungkin berbekal inspirasi dari buku-buku motivator, Budi belajar bahwa dengan situasi “kepepet” akan memaksa orang bekerja keras dan membuahkan hasil yang baik. Tapi yang terjadi adalah Budi akan berputar dalam lingkaran setan. Dia sudah terjerumus dengan sistem “gali lobang tutup lobang”. Sebelum gajian, dia berhutang kesana sini untuk menutupi biaya operasional harian. Setelah gajian dia harus melunasi hutangnya yang sebesar 70% dari gajinya. Sisa 30% tidak cukup untuk menutup biaya operasional, maka akhirnya dia kembali berhutang dan demikian seterusnya.
Dari cerita diatas, saya menyimpulkan (pandangan saya) bahwa niat yang kuat dan kerja keras tidak cukup untuk mencapai kesuksesan, itu seperti banteng menyeruduk tanpa arah. Diperlukan perhitungan yang cermat dan kemampuan melihat peluang agar bisa mencapai kesuksesan. Pernahkan Anda melihat ilustrasi kartun seseorang yang sedang menggali di bawah tanah sampai jauh ke dalam, tiba-tiba dia menyerah dan berbalik arah untuk pulang, padahal puluhan kilo emas sudah tepat 1 meter di depannya. Gambar itu sangat memotivasi kita untuk tidak pernah menyerah, tapi kenyataannya tidak sesederhana itu.
Saya ibaratkan Anda sedang mengendarai mobil ditengah hutan pada pagi hari untuk pergi ke desa tetangga. Anda tersesat tapi Anda terus berusaha mencari, karena Anda yakin bensin Anda cukup. Akhirnya malam tiba dan Anda masih belum menemukan desa tersebut dan memutuskan untuk kembali lagi besok pagi. Padahal desa itu sudah tepat 200 meter ada diseberang pada titik Anda memutuskan untuk pulang. Menurut saya itu pemikiran yang sangat bijak, orang mau berkata “cari aman” ya terserah saja. Tapi saya katakan “lebih baik menunda sementara daripada mati sekarang“. Kenapa demikian? Karena meskipun desa itu hanya 200 meter disebrang saya. Tapi saya tidak pernah tau posisi jurang ada dimana karena situasi sedang gelap. Kenapa kita tidak bersabar 7 jam menunggu matahari terbit dan melanjutkan perjalanan.
Itulah kenapa saya katakan lebih baik menyerah (menunda) sementara daripada mati sekarang. Banyak inspirasi dari motivator yang mungkin tidak pernah mengatakan seperti itu. Tapi saya berpikir bahwa tidak semua ajaran motivasi harus kita telan bulat-bulat. Kita cukup mengambil sarinya saja, kemudian kita implementasikan pada diri kita sesuai kemampuan kita. Tidak semua pakaian cocok untuk orang lain, ada yang kekecilan dan yang lain malah kebesaran. Pada sebuah perlombaan lari, hanya ada satu orang pemenang dan sisanya hanya penggembira saja. Mau menjadi apakah Anda? Sebagai pemenang atau sekedar penggembira saja?
Menjadi pemenang tidaklah mudah, bukan hanya niat dan usaha keras, diperlukan juga strategi dan kemampuan melihat peluang. Anda gagal tidak masalah, kegagalan bisa menjadi pelajaran untuk kemudian hari. Tapi jangan menjadikan kegagalan Anda seperti ombak yang menyeret orang lain. Seperti cerita teman saya diatas, kesalahan dia memprediksi finansial membuat dia terpaksa menggunakan uang sayur orang tuanya. Dan sebenarnya tidak perlu terjadi seperti itu jika Budi bisa menunda sementara kursus basketnya. Dia bisa bekerja sebagai karyawan swasta selama beberapa bulan, sampai terkumpul cukup uang untuk survive sebelum menjadi pelatih basket yang digaji. Dan jika sudah terlanjur nyemplung, Budi bisa berputar arah dan mengulang esok hari.
Tidak pernah ada kata terlambat untuk mengulang, kesuksesan pasti diraih jika kita melakukan serangan dengan perhitungan yang cermat. Seperti seorang pemburu yang akan memanah targetnya. Dia menarik mundur tali busurnya, menyesuaikan ketegangan tali dengan jarak dan kondisi angin, mata membidik lokasi target, setelah semuanya tepat baru dilepaskan anak panah ke target. Persiapan yang matang lebih memudahkan kita mencapai target daripada asal tabrak sekuat tenaga.
Sekali lagi saya ingatkan, tidak semua motivasi cocok untuk semua orang. Hidup ini tidak sesederhana itu karena kehidupan terus berubah. Strategi motivator tahun lalu mungkin tidak cocok untuk trend saat ini. Teknik pemasaran yang bagus saat ini mungkin tidak cocok untuk tahun depan. Beberapa orang dilahirkan dengan kemampuan bicara yang baik, dan beberapa dilahirkan dengan kemampuan fisik yang kuat. Beberapa orang cocok bekerja sebagai instruktur dan beberapa yang lain cocok sebagai analist. Beberapa orang bisa sukses pada usia muda tapi beberapa baru bisa sukses pada usia 50 puluhan.
“Setiap orang dilahirkan untuk menjadi sukses. Saya punya 2 tangan dan 2 kaki yang sama dengan Anda, kalau saya bisa, kenapa Anda tidak?”. Ya tepat sekali demikian kata-kata yang sering dilontarkan olah para motivator terkenal. Tapi cara mencapai kesuksesan pada setiap orang itu berbeda-beda, mengapa demikian? Karena setiap orang memiliki ketahanan fisik yang berbeda, mental yang berbeda, bakat yang berbeda, dan masih banyak faktor lainnya. Anda boleh meminta pendapat orang lain mengenai cara mencapai kesuksesan, tapi hanya Anda sendiri yang tau apa yang terbaik untuk Anda, karena tidak ada orang lain yang lebih mengenal diri Anda selain Anda sendiri. Menganalisa kemampuan diri sendiri bukan hal yang mudah, perlu perenungan yang lama dan fokus untuk mendapatkan analisa yang akurat. Manfaatkan kelebihan dan atasi kekurangan Anda untuk mencapai kesuksesan.
Tulisan ini bukan menjadi alasan bagi Anda untuk membenarkan suatu penundaan. Maksud saya adalah Anda menunda untuk melakukan persiapan yang lebih matang sebelum bertempur. Tentu persiapan yang matang itu tidak mudah, diperlukan kerja keras dan usaha untuk mencapainya. Kebanyakan dari kita hanya berpikir untuk mencapai target, tapi pernahkah kita berpikir untuk mencapai persiapan yang matang dulu sebelum mencapai target. Setelah persiapan itu sudah matang, kita tinggal menunggu kesempatan yang tepat untuk terjun. Untuk beberapa kasus, kesempatan bisa diciptakan tanpa perlu ditunggu (seperti menciptakan trend baru), tapi tidak semuanya demikian.
Berpikirlah cerdas, jangan sekedar mengandalkan emosi dan hasrat dalam memutuskan sesuatu.

Antara Idealisme dan Realistis


Sebuah imajinasi tentang masa depan akan mengantarkan kita selangkah menuju masa depan tersebut. Seseorang yang berpengatahuan tinggi belum tentu ia mempunyai taraf hidup yang tinggi jika ia tidak mampu atau benari melakukan seuatu yang besar dalam hidupnya, dan keberanian itu berangkat dari sebuah hasrat dan di sertai kemampuan imanjinasi yang jelas.
Lihatlah begitu banyak orang yang cerdas, namun banyak sekali menemukan kesulitan dalam hidupnya, entah kenapa berbeda dengan orang yang berpengetahuan pas-pasan tetapi ia mampu berhasil mewujudkan harapannya. Jika di runut lebih jauh, orang yang memiliki daya nalar kuat untuk berimajinasi dan di sertai keberanian untuk bertindak, ada potensi dan probabilitas besar untuk berhasil. Itu sebabnya mereka adalah seorang pemimpi, ia tak tanggung-tanggung menciptakan sebuah ide yang besar. Mempunyai semangat tinggi serta menemukan sebuah passion.
Mungkin sebagian dari kita itu hanyalah sebuah angan-angan belaka, seperti orang tua kita pernah bilang “jangan berkhayal tinggi-tinggi nanti pas jatuh sakit”, itulah kekeliruan yang terjadi pada orang tua kita, sewaktu kita kecil, terus di jejalkan hal-hal yang manakutkan bukan menumbuhkan keberanian yang bermental baja. Sehingga ketika besar kita tidak mudah menerima, maka disitulah terciptanya kompleksitas hidup, dimana sebuah kehidupan tak lagi akur dengan kita, ruwet dan semerawut. Seolah-olah kita terus di kecam oleh fikiran kita sendiri, terhukumi oleh fikiran sendiri, dengan begitu kita takut untuk melangkah ldan bertindak.
Perlu di ketahui ada perbedaan antara imajinasi dengan khayalan, imajinasi itu punya misi yang jelas dan logis, artinya ketika kita benar-benar berimajinasi maka fikiran berusaha memproyeksikan apa saja hal-hal yang menurutnya dapat menjadi kenyataan, sedangkan khayalan orientasinya fantasi, artinya khayalan sebuah angan-angan tanpa misi yang jelas, tentunya fikiran tak akan bisa menjangkau seberapa jauh khayalan itu bisa terjadi. Jadi bagi yang berpendapat kahyalan itu identik dengan imajinasi, berarti anda sudah terbiasa hidup dalam fantasi yang tidak jelas.
Pejuang lahir bukan hanya tidur dan makan saja, melainkan berfikir dan berimajinas. Jadi jangan takut untuk terus bermimpi, walaupun kita lahir di bumi tapi mimpi harus setinggi langit.


Ketika Sila Ke 5 Menghilang dari Negara Ini


Pancasila adalah ideologi  berdirinya negara ini, pancasila merupakan rumusan  dan pedoman kehidupan bagi negara ini,  lewat pancasila tentunya kita semua berharap bahwa negara ini mampu menjadi negara yang luhur, negara yang mampu mengamalkan seluruh asas pokok didalam kandungan pancasila, terutama didalam lima dasar pokok utama, sehingga negara ini mampu  menjadi negara yang berbudi pekerti luhur, yang didalamnya terdapat segala, kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh manusia di negara ini.
Akan tetapi apakah pancasila beserta kandungan  lima dasar pokok asas sudah benar-benar di hayati dan diamalkan seutuhnya oleh negara ini, kita berkaca melalui kenyataan yang terjadi bahwa pancasila saat ini hanya seperti simbol tanpa arti  dan ideologi kosong  , tanpa ada penghayatan dan pengamalan di dalamnya, terutama di dalam sila ke 5, kita pasti semua tau apa itu sila ke 5 ” keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”. Sila ke 5 penghayatan beserta pengamalan telah menghilang dari negara ini, ini di sebabkan oleh kenyataan bobroknya para pemimpin negara ini  dalam menangani kemiskinan dan kesenjangan sosial yang mencapai level kronis dalam negara ini.
Setiap hari kita melihat kenyataan secara langsung, maupun melalui media bahwa banyaknya kasus-kasus kemiskinan yang terjadi, anak-anak yang harus putus sekolah lalu dipaksa bekerja dengan seadanya,  dikarenakan tidak adanya  biaya unuk melanjutkan pendidikannya,  itu semua  ditunjang  karena mahalnya pendidikan di negara ini,  banyaknya kasus-kasus orang sakit yang harus meregang nyawa secara mengenaskan karena tidak adanya   biaya berobat kerumah sakit, banyaknya kasus-kasus pencurian yang terjadi, karena tidak ada jalan lain untuk mereka, keterpaksaan dan kebutuhan untuk melanjutkan hidup memaksa mereka untuk mecuri. Banyaknya kasus-kasus para gadis yang harus menjual diri dan kehormatan mereka di karenakan kebutuhan hidup yang mendesak mereka, faktor kemiskinan adalah salah satu faktor utama yang membuat tidak adanya nila-nila yang terkandung di dalam sila-5, dan rasa keadilan seakan  menghilang dari negara ini.
Hampir setiap  hari kita melihat mobil mewah dengan keluaran seri  terbaru hilir bolak-balik di jalan-jalan besar di negara ini, itu pun di barengi  dengan banyaknya  para manusia dengan  penampilan kumuh, lusuh dan kotor menadahkan tangan berharap mereka di kasihani, untuk mendapatkan sedikit uang  hanya untuk sekedar mencukupi kebutuhan perut mereka di hari itu, kita juga melihat banyaknya anak-anak  yang harusnya mereka pergi ke sekolah mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak, akan tetapi mereka harus di jalan-jalan membantu perekonomian keluarga mereka, kita melihat megahnya pembangunan mall dan apartemen mewah dengan biaya yang fantastis, akan tetapi kita pun melihat banyaknya tempat tinggal kumuh yang sangat tidak layak, berada di pinggir-pinggir rel, di kolong-kolong jembatan, dan di bantaran kali yang sangat kotor, kita pun melihat dengan orang-orang yang berlomba-lomba memberi barang-barang dengan keluaran terbaru dengan harga yang sangat mahal di mall-mall, penting tidak penting mereka akan tetap membeli hanya untuk  sekedar memiliki dan membanggakan diri  terhadap kerabat mereka, di satu sisi kita pun melihat banyaknya orang-orang yang harus menahan lapar karena sudah seharian mereka tidak makan.
Kesenjangan sosial adalah salah satu akar penghambat di dalam terciptanya keadilan  didalam sila ke 5 itu sendiri  bagi negara ini,  jauhnya jenjang jarak antara si kaya dan si miskin, ini membuat kecemburuan sosial antara si miskin kepada si kaya dan dapat selalu menciptakan setiap konflik yang terjadi,  dan membuat rasa keadilan di negara ini seolah menghilang dan lenyap, hal ini ada karena sistem pemerintahan kita tak pernah berjalan dengan baik untuk menangani kesenjangan sosial ini, aturan pajak pemerintahan yang tidak berjalan, setiap rakyat di negara ini diharuskan membayar pajak, melalui tagihan listrik atau tanah atau  usaha kita,  kita di haruskan untuk membayar kepada pemerintah, dan setiap pendapatan  yang lebih tinggi  tentunya pajaknya akan semakin tinggi,  jika berjalan dengan baik, ini seharusnya bisa mengurangi angka kemisikinan dan kesenjangan yang terjadi di negara ini, karena setiap apa yang rakyat berikan  kepada pemerintah, harusnya  kembali kepada rakyat itu sendiri, dan  pembayaran pajak yang tinggi kepada orang-orang kaya di negara ini,  harusnya ini berdampak dengan secara tidak langsung kekayaan mereka bisa menetes kepada si miskin karena pemberlakuan pajak yang tinggi kepada si kaya, akan tetapi kenyataan api yang jauh dari panggang, di karenakan tak pernah bisa merasaknya tetesan kekayaan  dari si kaya kepada si miskin, itu semua karena pemerintahan kita yang korup, yang seharusnya pajak tinggi dari si kaya di distribusikan kepada si miskin, mereka malah memakannya  sendiri,  banyaknya kasus-kasus korupsi di negara ini, membuat si miskin tetap hidup dalam keadaan miskin, dan yang kaya tetap kaya malah bertambah kaya, tanpa adanya keseimbangan dan keadilan di dalamnya.
Kapitalisme akut, adalah sistem yang sangat dapat menghambat terciptanya rasa keadilan sosial di dalam negara ini, sistem ini ada dan berjalan di negara ini,  melalui pasar bebas dan kekuatan uang, mereka mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan mereka sendiri dan tanpa peduli terhadap hak-hak orang lain,  kapitalisme membentuk manusia-manusia yang rakus, manusia-manusia hedonisme, kita banyak sekali melihat  manusia-manusia yang tanpa pendidikan dan kreatifitas yang sangat minim, di pekerjaan di dalam tempat-tempat, yang mereka harus di tuntut bekerja sangat keras,   dengan pembayaran minim, dan tidak  sesuai dengan apa yang mereka kerjakan, didalamnya pun tidak ada jaminan kesehatan, mereka bekerja dan di bodohi  hanya untuk memperkaya para orang-oarang rakus, tanpa menyadari posisi dirinya sendiri, di karenakan pengetahuan dan rendahnya pendidikan yang mereka terima dan kretifitas yang sangat minim,  ini adalah awal dari perbudakan modern di abad ke 21, dan ini ada dalam sistem kapitalisme. Kapitalisme membentuk manusia-manusia kaya yang egois, dan si miskin tetap hidup miskin.  Mau sampai kapan semua  ini terjadi?


Antara Ilmu dan Iman


Kita bisa dan layak membahas atau berdebat soal ilmu sampai berbusa, karena pembuktian kebenaran soal ilmu bisa dilakukan. Kalau soal keimanan, jurinya cuma Allah. Pembuktian kebenaran soal keimanan ataupun yang diimani, sampai apapun sulit dilakukan.
Begitu pula dalam keseharian, yang berilmu belum tentu beriman. It’s ok, karena kalau sudah tahu ilmunya terserah dia mau mengimani atau tidak. Itu adalah pilihan pribadi yang tak bisa dipaksakan.
Yang beriman tidak berilmu? Bodoh namanya kalau beriman tanpa ilmu.. Ngapain beriman sama sesuatu yang nggak jelas. Pelajari dulu agar mengetahui apa yang diimani. Kadang sering terjadi “iman buta” yang berarti hanya beriman tanpa mengerti makna dari yang diimani. Suatu kekosongan dalam iman.

Repotnya kadang penafsiran tentang suatu ilmu, tergantung pada kebutuhan pribadi atau golongan. Jadinya kadang pemaksaan akan keimanan yang berdasarkan ilmu terjadi. Dimana terjadi suatu pemahaman akan ilmu yang palsu, hingga iman menjadi bukan kebenaran tapi pembenaran.

Makna Kegagalan

Kepemimpinan adalah sifat yang universal karena sesungguhnya kepemimpinan itu melekat pada pribadi setiap orang. Ada orang yang sanggup mengekstrak kepemimpinan dari dalam dirinya dan mengamalkannya dengan maksimal sehingga mampu menjadi pemimpin yang baik di tengah komunitasnya. Kalaupun kebetulan dia tidak didaulat menjadi pemimpin, dia akan mampu memainkan perannya apapun itu dengan baik, sehingga mendatangkan manfaat bagi komunitasnya.
Ada juga orang yang tidak sepenuhnya mampu mengaplikasikan kepemimpinan dari dalam dirinya, sehingga selalu orang yang melambatkan laju organisasi, jadi biang masalah, bahkan untuk memimpin dirinya sendiripun dia tidak sanggup.
Untuk memudahkan melihat secara komprehensif proses kepemimpinan, kita bisa mengibaratkan kepemimpinan itu dengan memelihara sebuah pohon. Beberapa pakar manajemen menamakan pohon itu dengan pohon kehormatan.
Sebuah pohon memiliki akar yang berfungsi sebagai dapur sumber makanan dan nutrisi bagi seluruh bagian pohon. Kemudian ada batang, dahan, ranting dan daun pohon yang kasat mata dan membuat orang yang melihatnya mampu mengenali pohon tersebut. Terakhir, pohon tersebut menghasilkan buah yang bermanfaat.
Bagi seorang pemimpin yang sedang memelihara pohon kehormatan, akar pohon tersebut adalah mental dan keterampilan intrapersonal yang dikembangkan terus menerus. Pondasi kepribadian ini termasuk karakter, keimanan, akhlak, integritas, hati serta budi pekerti yang lurus. Hal-hal seperti ini tidak mudah terlihat dari kepribadian seseorang namun sangat menentukan bagaimana orang itu mengembangkan kepemimpinannya.
Akar yang memberikan supply nutrisi yang baik bagi pohon kehormatan, akan membuat batang, dahan ranting dan daun menjadi kokoh, rimbun dan segar. Dalam kepemimpinan, pondasi kepribadian yang baik akan terlihat hasilnya dari produktivitas orang tersebut. Produktivitas ini mencakup kinerja yang unggul, prestasi yang layak diacungi dua jempol, inovasi yang unggul dan pelayanan yang prima.
Akhirnya buah-buah dari pohon kehormatan pun akan nampak ke permukaan. Untuk kepemimpinan, buah atau manfaat dari proses kepemimpinan itu misalnya: Reputasi tinggi, jabatan puncak, nama besar, termasuk di dalamnya salary yang pantas.
Sejarah pun tidak mampu menutup tabir pemimpin-pemimpin fenomenal yang memberi warna bagi kemanusiaan. Tidak mesti dari bidang sosial atau politik, setiap bidang kehidupan selalu melahirkan pemimpin-pemimpin yang menginspirasi. Beberapa nama ini pasti membekas di benak anda. Abraham Washington, Soekarno, Albert Einstein, Mozzart, sampai pemimpin yang menaklukkan dunia dengan kasih seperti Mother Theresa pun bisa menjadi teladan. Semua pemimpin-pemimpin besar memiliki kesamaan yaitu membangun pohon kehormatannya dengan baik.
Jadi apapun jabatan dan profesi kita saat ini, kita semua adalah seorang pemimpin. Paling tidak kita memimpin diri sendiri dan memimpin keluarga. Jika kita dipercaya memimpin sebuah tim, sebuah divisi atau komunitas yang lebih luas, itu adalah tambahan talenta dari Tuhan untuk kita kembangkan. Sampai saatnya nanti Tuhan menagih kembali. Untuk menjadi pemimpin yang baik, kita bisa mulai dengan membenahi akar pohon kehormatan kita.

Banyak Anak Banyak Rezeki?


Ketika kita masih kecil mungkin pernah mendengar istilah orang tua, banyak anak banyak rezeki! Jika dianalisa mungkin ada benarnya. Analisanya bukan analisa kekinian. Zaman dulu, hidup belum sesusah sekarang ini. Kebutuhan yang mendesak hanyalah kebutuhan primer seperti: sandang, pangan dan papan. Kalau sudah cukup makanan, ada pakaian dan ada rumah sebagai tempat berteduh, sudah cukup.
Kebutuhan sekunder maupun tersier belum begitu menyakitkan jika tidak dipenuhi. Mobil, motor, televisi dan peralatan rumah tangga belum secanggih sekarang. Kebutuhan akan pendidikan belum sepenting sekarang ini. Tamat SMP saja anak dalam satu keluarga sudah cukup lumayan. Biaya pendidikan dan biaya lainnya tidak begitu bermasalah. Begitu pula harga barang belum tinggi, tarif dan jasa yang akan dibayar belum seberapa.
Jika mata pencaharian masyarakat suatu kampung adalah bertani, maka areal pertanian masih luas dan hasilnya berlimpah ruah. Pupuk untuk tanaman cukup pupuk kandang saja sehingga kesuburan tanah terpelihara. Sementara jumlah jiwa belum sebanyak sekarang ini. Sekarang ini jumlah penduduk Indonesia lebih kurang 260 juta jiwa.
Zaman sekarang masih relevankah istilah banyak anak banyak rezeki? Mungkin akan beragam jawabannya. Yang pasti, banyak anak membuat pusing kepala. Mengapa? Kebutuhan orang zaman sekarang semakin banyak. Kebutuhan primer, sekunder, tersier, bahkan mungkin kuarter. Sulit membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan.
Biaya tarif dan jasa serta harga barang semakin melambung. Begitu pula harga bahan kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara penghasilan keluarga semakin tidak menentu. Kadang-kadang kondisi seperti ini membuat orang nekad melakukan apa saja demi mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Alasan orang yang lazim terdengar mengapa tidak mau mempunyai anak banyak adalah pendidikan anak. Mungkin ada benarnya. Jika mempunyai anak yang banyak pada zaman sekarang ini beresiko akan kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Biaya dan kebutuhan pendidikan anak semakin mahal. Atau mungkin juga hanya sekadar berdalih karena tidak ingin repot mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Mereka takut mempunyai anak banyak lantaran memikirkan biaya pendidikan. Sementara dalam praktiknya mereka sanggup membeli ini dan itu dengan biaya yang mahal.
Sebagian lagi ada yang tidak ambil pusing. Mereka menyerahkan semuanya pada yang Kuasa. Jika yang Kuasa memberinya anak banyak, diyakini rezeki masing-masingnya sudah disediakan oleh yang Kuasa. Kedua orang tualah yang mengusahakan rezekinya dengan bekerja keras membanting tulang. Jika mereka berdoa, maka sekian pasang tangan anak-anak mereka, menampung untuk meminta kepada yang Kuasa agar kedua orang tuanya sehat dan rezekinya lancar.


Memimpin Ibarat Menanam Pohon


Kepemimpinan adalah sifat yang universal karena sesungguhnya kepemimpinan itu melekat pada pribadi setiap orang. Ada orang yang sanggup mengekstrak kepemimpinan dari dalam dirinya dan mengamalkannya dengan maksimal sehingga mampu menjadi pemimpin yang baik di tengah komunitasnya. Kalaupun kebetulan dia tidak didaulat menjadi pemimpin, dia akan mampu memainkan perannya apapun itu dengan baik, sehingga mendatangkan manfaat bagi komunitasnya.
Ada juga orang yang tidak sepenuhnya mampu mengaplikasikan kepemimpinan dari dalam dirinya, sehingga selalu orang yang melambatkan laju organisasi, jadi biang masalah, bahkan untuk memimpin dirinya sendiripun dia tidak sanggup.
Untuk memudahkan melihat secara komprehensif proses kepemimpinan, kita bisa mengibaratkan kepemimpinan itu dengan memelihara sebuah pohon. Beberapa pakar manajemen menamakan pohon itu dengan pohon kehormatan.
Sebuah pohon memiliki akar yang berfungsi sebagai dapur sumber makanan dan nutrisi bagi seluruh bagian pohon. Kemudian ada batang, dahan, ranting dan daun pohon yang kasat mata dan membuat orang yang melihatnya mampu mengenali pohon tersebut. Terakhir, pohon tersebut menghasilkan buah yang bermanfaat.
Bagi seorang pemimpin yang sedang memelihara pohon kehormatan, akar pohon tersebut adalah mental dan keterampilan intrapersonal yang dikembangkan terus menerus. Pondasi kepribadian ini termasuk karakter, keimanan, akhlak, integritas, hati serta budi pekerti yang lurus. Hal-hal seperti ini tidak mudah terlihat dari kepribadian seseorang namun sangat menentukan bagaimana orang itu mengembangkan kepemimpinannya.
Akar yang memberikan supply nutrisi yang baik bagi pohon kehormatan, akan membuat batang, dahan ranting dan daun menjadi kokoh, rimbun dan segar. Dalam kepemimpinan, pondasi kepribadian yang baik akan terlihat hasilnya dari produktivitas orang tersebut. Produktivitas ini mencakup kinerja yang unggul, prestasi yang layak diacungi dua jempol, inovasi yang unggul dan pelayanan yang prima.
Akhirnya buah-buah dari pohon kehormatan pun akan nampak ke permukaan. Untuk kepemimpinan, buah atau manfaat dari proses kepemimpinan itu misalnya: Reputasi tinggi, jabatan puncak, nama besar, termasuk di dalamnya salary yang pantas.
Sejarah pun tidak mampu menutup tabir pemimpin-pemimpin fenomenal yang memberi warna bagi kemanusiaan. Tidak mesti dari bidang sosial atau politik, setiap bidang kehidupan selalu melahirkan pemimpin-pemimpin yang menginspirasi. Beberapa nama ini pasti membekas di benak anda. Abraham Washington, Soekarno, Albert Einstein, Mozzart, sampai pemimpin yang menaklukkan dunia dengan kasih seperti Mother Theresa pun bisa menjadi teladan. Semua pemimpin-pemimpin besar memiliki kesamaan yaitu membangun pohon kehormatannya dengan baik.
Jadi apapun jabatan dan profesi kita saat ini, kita semua adalah seorang pemimpin. Paling tidak kita memimpin diri sendiri dan memimpin keluarga. Jika kita dipercaya memimpin sebuah tim, sebuah divisi atau komunitas yang lebih luas, itu adalah tambahan talenta dari Tuhan untuk kita kembangkan. Sampai saatnya nanti Tuhan menagih kembali. Untuk menjadi pemimpin yang baik, kita bisa mulai dengan membenahi akar pohon kehormatan kita.

  1.  

Antara Percaya Diri dan Tak Tahu Diri


Motivasi itu baik untuk meningkatkan
semangat dan kepercayaan diri.
Namun sebaik-baik motivasi adalah
yang meningkatkan semangat
untuk mengenal diri dan Tuhan-nya.

Tidak sedikit kepercayaan diri itu
telah menghantarkan manusia
kepada lupa akan dirinya dan Tuhan-nya,
sehingga terlalu memperturutkan keinginan jiwanya
daripada memperturutkan keinginan Tuhan-nya.

Percaya diri itu baik,
namun lebih baik lagi bila mengenal diri,
sehingga dapat membedakan
antara percaya diri dan tak tahu diri.

Ketika Terbangun dari Tidur


Banyak orang yang mungkin kurang mensyukuri apa arti terbangun dari tidur. Kita bahkan menganggap itu hanya sebuah rutinitas, yang kita ingat justru saat susah dan malasnya bangun tidur. Jarang kita menengok apa yang sebenarnya nikmat bangun tidur.
Tahukah anda? Jika saat tidur kita sebenarnya sangat lemah. Bayangkan saja, kita tidak bisa berbuat apa-apa saat tertidur. Kalau misalnya ada sesuatu yang akan menyerang kita waktu tidur, sungguh kita tak bisa melawan. Sebagai contoh, andai saja seekor semut yang kita injak tadi siang akan membalas dendam, kitapun hanya bisa pasrah. Ternyata di saat tertentu kita lebih lemah dari seekor semut. Ini dapat dijadikan bukti bahwa manusia mempunyai banyak kekurangan dan kelemahan.
Lalu apa yang bisa kita ambil dari hal di atas? Ternyata bangun tidur adalah nikmat dari Tuhan yang sungguh sering kita lupakan. Tuhan ternyata sungguh maha bijaksana, Dia menjaga kita waktu tidur. Kita dihidupkan kembali oleh Tuhan setelah beberapa saat terpejam “mati”. Saat terbangun badan kita akan terasa lebih enak dan hilang semua kepenatan yang kita rasakan saat kita lelah beraktivitas seharian yang ditandai dengan rasa mengantuk.
Nikmat terbangun dari tidur memang kadang terlupa, padahal di sinilah sebetulnya bersembunyi rasa syukur. Syukur akan kehidupan yang diberikan pada kita. Disetiap bangun tidur tataplah dunia ini, yang sekali lagi dianugerahkan oleh Tuhan pada kita. Setiap hari, setiap bangun tidur, di sanalah rasa syukur semestinya itu ada.


Kamis, 22 Januari 2015

Apa Semua Harus Tepat, Jelas, dan Terukur ?


Berawal dari ketidakpastian semua yang kita anggap benar tidak selalu tepat dalam faktanya. Kita dengan mudah mengambil penilaian dalam setiap fenomena yang kita jumpai, namun kebenaran akan fenomena yang kita nilai tidak selalu tepat. Lantas apa yang harus kita lakukan untuk mendapatkan suatu keputusan yang tepat, jelas, dan terukur? Atau memang keputusan kita atau penilaian kita terhadap semua yang kita jumpai hanya sebatas opini yang cukup sebagai standard penilaian?
Kadangkala kita dapat dengan mudah mengira-ngira suatu jarak, berat atau kecepatan. Ketika anda ditanya berapa jarak dari rumah anda ke kantor? berapa berat badan anda? atau berapa menit waktu yang anda perlukan untuk samapai di kampus? Mungkin anda akan dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin sepele seperti itu. Namun jika kita mencoba berfikir lebih jauh,  atas dasar apa kita menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut? Dari mana angka-angka atau nilai yang kita berikan? Jika jawaban yang kita berikan memang berdasarkan pengukuran suatu alat yang tepat dan teruji, maka jawaban yang kita berikan memang suatu jawaban yang valid atau tepat, jelas, dan terukur. Misalnya kita akan dengan mudah menjawab berat badan kita sebesar 57 kg  berdasarkan alat pengukur berat badan. Angka 57 adalah nilai yang terukur dan dapat dipertanggung jawabkan karena 57 bukan berdasarkan sebatas penilaian atau subjektifitas kita, tapi angka yang kita dapatkan dari sebuah proses pengukuran yang menggunakan alat ukur dengan standard baku dan diakui secara umum, sehingga datanya pun menjadi data (angka) yang tepat, jelas, dan terukur.
Akan semakin menyusahkan jika semua penilaian kita adalah hasil dari proses pengukuran yang reliable dan valid. Memang mungkin jika suatu penilaian menggunakan pengukuran yang reliabel dan valid, semua data yang diperoleh bisa dipertanggung jawabkan. Apa ada penilaian yang tidak bisa dipertanggung jawabkan? Banyak sekali penilaian-penilaian kita yang tak bisa dipertanggung jawabkan. Misalnya kita menilai pria paling tampan di kampus. Dari mana penilaian anda bahwa pria tersebut adalah pria tertampan di kampus? Atas dasar apa penilaian yang anda berikan? memang sudah anda ukur menggunakan alat ukur yang reliable dan valid? Sebelum jauh untuk memikirkan jawaban-jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang mungkin tidak terlintas dalam pikiran anda sebelumnya, ada pertanyaan yang paling mendasar. Pertanyaannya bahwa apakah ada alat ukur untuk mengukur ketampanan seseorang? Mungkin sudah ada, tapi alat ukur itu tidak bisa dijadikan penilaian yang bisa diterima oleh semua orang. Karena ketampanan/kecantikan adalah subjektifitas dan tidak ada standard baku sebagai acuannya yang diakui secara umum. Begitu pun halnya dengan penilaian yang menyangkut sesuatu yang tak terwujud seperti aspek-aspek psikologis.
Jadi intinya tidak harus semua yang kita nilai adalah sesuatu yang jelas, tepat, dan terukur. Karena ada beberapa hal yang biasa kita nilai ternyata belum ditemukan alat ukurnya. Memang akan lebih bijak jika apa yang kita nilai atau jawaban atas penilaian kita adalah sesuatu yang jelas, tepat, dan terukur agar bisa dipertanggung jawabkan.


Asal Usul Angka 13 dianggap Angka Sial


Di dunia terdapat bermacam-macam kepercayaan, mitos, dan legenda yang tidak terhitung banyaknya. Bagi kaum rasionalis, kepercayaan-kepercayaan orang-orang tua ini seharusnya ikut mati sejalan dengan modernisasi yang merambah seluruh sisi kehidupan manusia. Namun, demikiankah yang terjadi? Ternyata tidak. Di dalam tatanan masyarakat modern, kepercayaan-kepercayaan tahayul ini ternyata tetap eksis, bahkan berkembang dan merasuk ke dalam banyak segi kehidupan masyarakatnya. Kepercayaan-kepercayaan ini pun malah turut mewarnai arsitektural kota dan juga gedung-gedung pencakar langit.
Sebagai contoh kecil, di berbagai gedung tinggi di China, tidak ada yang namanya lantai 13 dan 14. Menurut kepercayaan mereka, kedua angka tersebut tidak membawa hoki. Di Barat, angka 13 juga dianggap angka sial. Demikian pula di berbagai belahan dunia lainnya.
Kalau kita perhatikan nomor-nomor di dalam lift gedung-gedung tinggi di dunia, tidak akan di jumpai lantai 13. Biasanya, setelah angka 12, maka langsung ‘tancap gas’ ke angka 14. Atau dari angka 12 maka 12 dulu baru 14. Fenomena ini terdapat di banyak negara dunia, termasuk Indonesia.
Mengapa angka 13 dianggap angka yang membawa kekurang-beruntungan? Sebenarnya, kepecayaan tahayul dan aneka mitos yang ada merupakan sugesti yang terus berlanjut di kalangan masyarakat yang berasal dari pengetahuan kuno bernama Kabbalah.
Kabbalah merupakan sebuah ajaran mistis kuno, yang telah dirapalkan oleh Dewan Penyihir tertinggi rezim Fir’aun yang kemudian diteruskan oleh para penyihir, pesulap, peramal, paranormal, dan sebagainya terlebih oleh kaum Zionis-Yahudi yang kemudian mengangkatnya menjadi satu gerakan politis dan sekarang ini, ajaran Kabbalah telah menjadi trend baru di kalangan selebritis dunia.
Bangsa Yahudi sejak dahulu merupakan kaum yang secara ketat memelihara Kabbalah. Di Marseilles, Perancis Selatan, bangsa Yahudi ini membukukan ajaran Kabbalah yang sebelumnya hanya diturunkan lewat lisan dan secara sembunyi-sembunyi. Mereka juga dikenal sebagai kaum yang gemar mengutak-atik angka-angka (numerologi), sehingga mereka dikenal pula sebagai sebagai kaum Geometrian. 
Menurut mereka, angka 13 merupakan salah satu angka suci yang mengandung berbagai daya magis dan sisi religius, bersama-sama dengan angka 11 dan 666. Oleh karena itu, dalam berbagai simbol terkait Kabbalisme, mereka selalu menyusupkan unsur angka 13 ke dalamnya. Misalnya kartu tarot yang berjumlah 13 dan kartu remi jumlahnya 13 (AS, 2-9, Jack, Queen, King).
Penyisipan simbol angka 13 terbesar sepanjang sejarah manusia dilakukan kaum ini ke dalam lambang negara Amerika Serikat. "The Seal of United States of America" yang terdiri dari dua sisi (Burung Elang dan Piramida Illuminati) sarat dengan angka 13.

Jika Diam Itu Emas, Justru Berfikir Adalah Seni


Dalam kehidupan sehari-hari kita mungkin sering mendengar kata-kata “diam itu adalah emas”, walaupun sudah banyak orang-orang yang mengetahui kata-kata tersebut, tetapi apakah mereka tahu bahwa diam itu benar-benar bisa di katakan emas?
Diam adalah bunyi dari segala isi hati, kurang lebihnya diam bisa di katakan sebagai pertahanan amarah yang dapat merugikan orang lain. Biasanya orang yang cenderung lebih banyak diam mempunyai ciri-ciri : mungkin orang tersebut sedang mengalami banyak masalah, hidupnya tidak bahagia, watak dari sananya, atau mungkin orang tersebut tidak bisa bicara alias (bisu). Lantas apakah ciri-ciri yang disebutkan itu bisa di katakan diam yang ber-emas? Belum tentu. Terkadang masih banyak yang harus diperhatikan untuk mencapai titik ke-emasan itu, jangan sampai sikap diam itu menyakiti diri kita sendiri, bergulat dengan diri kita sendiri, jika kita yang kalah dalam pertarungan itu khawatir diam itu menjadi bibit kebencian terhadap orang lain, yang mengotori pada dinding hati.
Tetapi apakah kalian tahu kalau diam itu adalah emas, justru berfikir adalah seni. Berfikir levelnya lebih tinggi dari sekedar diam, berfikir merupakan strategi menerjemahkan suatu keadaan yang memungkinkan berdampak buruk bagi diri sendiri dan orang lain. jika diam tidak di sertai kerja fikir, diam yang hanya sekedar diam saja tanpa melalui proses tahapan berfikir maka kemungkinan besar ia akan mengambang dalam kesesatan  dan menjauhkan diri dari arah kebenaran, ia akan berbelok pada nilai-nilai kebijaksanaan. Oleh karenanya lebih baik diam bukan hanya sekedar diam tetapi harus di sisipkan proses fikir. Agar tindakan yang di ambil tidak melenceng dari nilai-nilai kebijakan. Karena sejatinya tindakan adalah manifestasi daripada fikiran.
Kalau di runut lebih jauh antara diam dan berfikir sebetulnya keduanya memiliki sisi yang sama, keduanya mempunyai nilai-nilai kebijakan untuk melawan bumerang yang akan berakibat pada diri sendiri juga orang lain. Artinya diam itu akan di katakan emas jika dalam keadaan diam tersebut ada proses di mana otak difungsikan untuk mengamati suatu permasalahan sekaligus menikmati keadaan sekitar. Oleh karenanya diam itu tidak akan memunculkan sifat ke-emasannya, kecuali diam itu sendiri bersinergi dengan kerja fikir.

Kebenaran dari Pikiran yang Salah


Perbuatan baik itu tidak perlu dilihat siapa pelakunya, yang terpenting apa yang telah dilakukan memberikan manfaat, kadang menjadi subjektif ketika tahu pelakunya, meski pun perbuatannya baik, tapi tidak suka sama pelakunya, maka tetap saja perbuatan baiknya dianggap tidak baik.
Menghargai perbuatan baik sangatlah dibutuhkan kearifan dan jiwa besar, karena penjahat sekali pun masih memiliki sisi baik dan bisa saja berbuat kebaikan, apalagi orang-orang yang memiliki jejak rekam baik. Sekarang, terlalu banyak isu negatif yang bertebaran di sosial media, sehingga seakan-akan tidak ada lagi perbuatan baik di muka bumi ini, yang anehnya lagi perbuatan yang tidak baik oleh sekelompok massa malah dibela, hanya atas dasar kesamaan.
Sebaliknya orang-orang yang malah ingin berbuat kebaikan untuk kepentingan orang banyak dihujat dan dicela, semua hanya dikarenakan melihat siapa orangnya, bukan apa niat dan perbuatan baik yang akan dia lakukan. Rasa kebencian lebih mengemuka dibandingkan kesukaaan, padahal kebaikan itu bisa dilakukan oleh siapa saja, bukanlah karena suku, agama dan ras.
Perbuatan baik itu menjadi subjektif, ketika kita lebih melihat siapa yang melakukannya, seharusnya kalaupun kita tidak suka terhadap orangnya, bukan berarti kita pun harus mengabaikan kebaikan yang dilakukannya, apalagi jika niat dan perbuatan baiknya tersebut untuk kepentingan orang banyak. Sangat bijak kalau melihat yang demikian itu kita mempertanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita mampu melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukannya.
Lihatlah perang hujatan di sosial media saat ini sudah sangat memprihatinkan, sudah tidak mengenal batas dan norma agama. Semua hanya dikarena keberpihakan dan rasa simpati kepada tokoh dan kelompok yang didukung, sehingga yang dibela pun seperti sudah diyakini sebagai mewakili kebenaran yang sesungguhnya, dan pihak lawan meski pun melakukan kebenaran dan perbuatan baik, tetap saja dianggap melakukan kesalahan.
Apa susahnya menganggap perbuatan baik sebagai sebuah kebaikan, bukankah hal tersebut berdampak baik bagi diri kita sendiri, sehingga kita mampu mengelola mana pikiran yang negatif dan mana pikiran yang positif, dan kebaikan lain yang bisa didapat, setiap hari, setiap waktu, pikiran kita tidak melulu diisi dengan pikiran negatif. Kalau kepala dan pikiran hanya diisi dengan hal-hal yang negatif, lambat laun akan mengidap penyakit hati yang akut, kalau sudah begitu akan sulit untuk disembuhkan.
Mengapresiasi hasil perbuatan baik orang lain itu adalah kerendahan hati, dan itu tandanya kita memiliki hati yang sehat, kalau hati sehat maka pikiran-pikiran bijak pun senantiasa akan mengisi ruang kepala. Sebaliknya sikap yang senantiasa mencela, hanya akan mengotori rongga kepala.

Kerjakan, Pasti Anda Merasakan


Harta yang paling bernilai adalah Sehat
Aset yang paling berharga adalah Ilmu
Investasi yang paling baik adalah Waktu
Tabungan yang paling menguntungkan adalah Perbuatan Baik.

Empat kalimat sederhana dari orang bijak yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dikerjakan dan diamalkan bagi yang kurang memahami esensi hidup ini,  karena kecenderungan kita selalu menilai sesuai dengan kaca mata “ materialism”, akan tetapi jika kita simak dengan hati nurani apa yang maksud ke empat kalimat diatas adalah kebenaran yang nyata, mari kita renungi bersama-sama.
Harta yang paling bernilai adalah sehat, rasanya tidak akan terbantahkan kalimat ini, berapa pun harta yang anda punya tidak akan berarti sama sekali jika anda tidak sehat, bukan cuma sehat jasmani, tetapi juga sehat rohani, semua harta tersebut tidak akan bisa kita nikmati ketika kita sedang sakit.
Aset yang paling berharga adalah ilmu, jika kita punya aset dalam bentuk properti banyak dan kita bagikan, saya yakin semua aset kita akan berkurang, bahkan mungkin bisa habis, berbeda dengan aset yang satu ini (Ilmu), semakin banyak kita bagikan semakin dalam ilmu kita, tidak akan berkurang sedikitpun, bahkan akan semakin terasah ilmu kita, dan semakin banyak kita amalkan akan semakin banyak orang yang mendapatkan manfaat dari ilmu kita.
Investasi yang paling baik adalah waktu, sedikit sekali orang yang mau berinvestasi dengan waktunya, gunakan kesempatan yang ada untuk berbuat hal yang bermanfaat dalam hidup ini, waktu kita berkuasa, gunakan kekuasan untuk memajukan orang yang terbelakang, waktu kita punya uang, gunakan uang kita untuk hal yang bermanfaat baik untuk kita maupun untuk orang lain, waktu kita punya jabatan, gunakan jabatan kita untuk berbuat adil, waktu kita sedang belajar, manfaatkan waktu kita untuk menyerap ilmu sebanyak-banyaknya  karena waktu tidak akan bisa kembali dan akan terus mengalir ke depan. Banyak orang yang menyesali diri karena tidak berbuat apa-apa, atau salah memanfaatkan waktu yang tersedia saat itu.
Tabungan yang paling menguntungkan adalah berbuat kebajikan, tidak ada yang lebih tinggi manfaat dan keuntungan yang akan kita dapatkan kecuali perbuatan baik, dalam bentuk apapun perbuatan baik kita, niscaya pasti akan mendapatkan balasan yang baik, jika kita berbuat baik kepada alam, maka alam akan memberikan kebaikannya pada kita, jika kita berbuat baik kepada manusia, maka pasti kita akan mendapatkan kebaikan dari manusia, apakah balasannya langsung atau tidak langsung tidak masalah, bahkan bunga yang kita dapatkan dari tabungan kebajikan ini jauh lebih besar dari yang kita perkirakan.

Filsafat Membingungkan?


Filsafat akan membuat orang lain menjadi semakin jelas. Jika menjadikan seseorang menjadi bingung, maka filsafatnya bermasalah. Jadi, jika kita mengalami kebingungan, bukan penjelasannya yang kurang jelas, tetapi kita yang sedang belajar. Terjadilah hubungan timbal balik, karena metode berfilsafat itu terjemah menerjemahkan.
Persoalan filsafat ada dua, jika yang dipikirkan di luar pikiranmu, bagaimana kita mengetahuinya. Sebagian besar merasa sudah mengetahuinya, padahal belum mengetahuinya. Maka sebodoh-bodohya orang jika tidak tahu, tetapi merasa sudah tahu. Kalau sudah tahu, maka bagaimana menjelaskannya pada orang lain. Contohnya: betapa sulitnya menjelaskan rasa cinta suami pada istrinya. Tetapi jika istrinya bertanya, “Bagaimana cinta suaminya besok? Bagaimana setelah 10 tahun lagi?” maka tidak akan pernah bisa menjelaskan rasa cintanya.
Berfilsafat adalah olah pikir yang reflektif. Hidup dibagi 2, yaitu tataran atas dan tataran bawah. Tataran atas adalah logika, sedangkan tataran bawah adalah pengalaman. Contoh berfikir tanpa pengalaman: orang takut dengan singa walaupun tidak mempunyai pengalaman diterkam singa. Contoh pengalaman yang tidak pakai berfikir: kita mengajak kucing berlibur ke pantai, tetapi kucing tidak bisa memikirkan pengalamannya. Padahal sebagain besar manusia tidak memikirkan pengalamannya. Itulah tugas dan manfaat berfilsafat.
Ketika masih belajar, jangan prejudging. Cara mengembalikan keoriginalan pikiran kita adalah dengan berinteraksi, terjemah dan menterjemahkan. Menggapai keseimbangan berfikir, keseimbangan filsafat, dan keseimbangan hidup berdasarkan keteguhan hati atau spritualitas, sehingga pemikiran orang lain untuk membangun filsafat. Tidak ada seorang filsuf pun yang tidak terinsprirasi oleh filsuf lain. Karena hidup kita tidak terisolasi. Orang yang tidak mau berfilsafat, seperti orang yang berada di laut, tetapi tidak peduli dengan airnya apakah asin atau tawar. Kita adalah subjek atau objek yang berputar pada porosnya, yaitu spritualitas. Belajar filsafat itu bersifat anyware and anytime. Semakin air mendekati hulu, maka airnya semakin universal, sedangkan semakin mendekati hilir airnya semakin kontekstual. Begitu pula yang terjadi pada filsafat, semakin ke atas maka filsafat semakin universal, semakin ke bawah semakin kontekstual.
Objek filsafat adalah yang ada dan yang mungkin ada. Yang mungkin ada itu terletak di dalam pikiran kita. Hidup setiap saat adalah mengubah yang mungkin ada menjadi ada. Tiada berfilsafat kalau tidak mengacu pada tokoh.
Mengembangkan pola pikir dalam berfilsafat yaitu dengan metode hidup. Contohnya: bagaimana pohon bisa hidup, burung bisa hidup, dan seterusnya. Seperti bumi yang berpusat pada porosnya, maka bumi tidak akan pernah menempati ruang yang sama, seperti kita yang tidak pernah menempati tempat yang sama. Hendaknya kita meniru ciptaan Tuhan, maka kita berputar pada doa kita.
Memulai filsafat dengan baik dan benar dengan menaati norma yang disepakati. Kepastian adalah musuh filsafat. Dalam urusan pikiran, maka kepastian adalah musuhnya. Kadangkala kita mengalami kebingungan dalam berfilsafat, hal itu terjadi supaya kita mampu memikirkannya. Kebingungan yang terjadi karena isi mencari wadahnya. Misalnya bola yang ditempatkan pada ruangan besar bisa ditendang ke segala arah, sedangkan jika ditempatkan pada wadah yang pas, maka tidak akan bisa bergerak. Jika kita mengalami kebingungan dalam filsafat, hendaknya kita berhenti memikirkanya lalu berdoa atau beristirahat. Karena filsafat itu adalah proses mengembarakan pikiran yang bisa mengakibatkan hati bererosi. Maka dalam satu kali berfilsafat, hendaknya kita sepuluh kali berdoa. Jika dua kali berfilsafat, maka 20 kali berdoa.
Jangan merasionalkan keyakinan kita. Filsafat itu tergantung orangnya. Batas antara sesat dan tidak sesat itu tipis. Seperti yang terjadi pada bawang. Bawang itu adalah isi sekaligus juga kulit.
Diri kita sendiri adalah ketidakadilan. Kodrat bahwa manusia tidak bisa adil, kodrat pula manusia berusaha menjadi adil. Karena ada hukum reduksi, Tuhan juga memberlakukanya. Contoh: kita tidak memilih siapa ibu yang akan melahirkan kita. Kita bisa hidup karena ketidakadilan itu. Ikhtiar manusia untuk mengapai keseimbangan.
Berfikir filsafat itu abstrak dan riil. Anak kecil belajar menggunakan mitos, karena melakukan tanpa mengetahui. Ilmu matematika adalah pengandaian. Konsep awal, awal bisa menjadi segala-galanya. Manusia tidak bisa lepas dari awal. Dalam filsafat, awal adalah pondasi, aliranya adalah fondasionalism. Kita dikatakan mulai berfilsafat saat merefleksikan hidup. Setiap yang ada dan yang mungkin ada punya kebenaranya masing-masing. Kebenaran spriritual itu absolute. Filsafat itu berbicara tentang berpikir. Matakognisi bisa dikategorikan ilmu bidang psikologi, tetapi bisa ikut filsafat.
Filsafat itu olah pikir. Jadi, manfaat kita belajar filsafat adalah kita bisa berolah pikir. Kalau tidak belajar filsafat, berarti tidak mempelajari cara filsafat. Filsafat matematika adalah memikirkan apa yang ada dan yang mungkin ada dalam matematika. Filsafat itu menembus ruang dan waktu.