Minggu, 21 Desember 2014

Kebebasan yang Sebenarnya

Kebebasan yang Sebenarnya

Kita sering mengira definisi kebebasan berarti dapat berpikir semaunya dan bertindak semaunya. Tetapi itu suatu definisi yang tidak hanya ditolak para pemikir kebebasan, tapi juga tidak operasional.    
Pertama, karena kita hidup dalam masyarakat yang memproduksi banyak peraturan dan nilai-nilai moral tentang baik dan buruk. Tindakan kita dibatasi oleh aturan dan nilai-nilai moral. Dengan kata lain, kebebasan sosial kita terbatas 
Kedua, kalaupun kita hidup seperti Robinson Crusoe, di sebuah pulau terpencil tanpa orang lain, tetap Robinson tidak dapat bertindak semaunya. Mungkin ia ingin terbang supaya bisa pulang. Tapi tentu tidak mungkin. Jadi fisik kita pun membatasi kebebasan bertindak meskipun kita ingin. Makin tua kita, makin terbatas kebebasan fisik manusia.   
Ketiga, andaipun Robinson bisa terbang, tindakan terbangnya itu pun dibatasi dan  seolah ditentukan (lagi)  oleh nalurinya: rasa lapar, rasa rindu, keinginan untuk tetap hidup, dan harapan untuk pulang ke kampung halamannya. Kebebasan psikis kita dikerangkeng oleh berbagai naluri, nafsu dan impuls-impuls.
Jadi pengertian kebebasan untuk bertindak semaunya itu dalam dunia nyata maupun imajinasi tidak dapat dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah akal budi.  
Lalu apa dong kebebasan itu? Di sini, sumbangan Rudolf Steiner  mengenai filsafat kebebasan menjadi sangat berguna untuk membantu kita memahami kebebasan. Gagasannya saya ringkas sebagai berikut: Pertama Rudolf menunjuk adanya dua realita: yaitu manusia dan di luar manusia. Manusia dilengkapi kemampuan yang disebut sensory perceptions untuk mengakses realita di luar dirinya yang beragam (alam, tumbuhan, binatang, orang lain). Persepsi yang tersensor ini  ternyata toh dipengaruhi oleh tujuh instansi/level motives yaitu: reflexes, drives, desires, motifs, wishes, intentions, and commitments
Dengan kombinasi berbagai level itu, manusia memproduksi berbagai persepsi yang tersensor untuk memaknai dunia luar dan dirinya, istilahnya consciousness (tolong jangan diterjemahkan menjadi “kesadaran”).  Karena tersensor, celakanya atau untungnya, persepsi itu menghasilkan sebuah dunia pemahaman yang penuh kontradiksi, dualitas, polarisasi: baik-buruk, benar-salah, cantik-jelek dsb. Semakin berargam level motif yang memasuki sebuah fenomena, semakin ruwet polarisasi persepsi itu.  
Pada titik itu, hebatnya manusia, muncul fenomena kehendak bebas, yaitu kemampuan dalam diri manusia untuk membuat pilihan-piliahan dan lalu menciptakan sintesa kreatif atas persepsi yang berbeda-beda. Oleh Rudolf kemampuan itu disebut kehendak bebas (free-will).  
Dengan kata lain, kehendak bebas hanya muncul dalam kontradiksi-kontradiksi. Tanpa kontradiksi tidak ada wilayah untuk melakukan eksplorasi kebebasan. Sintesa berbagai persepsi yang berasal dari kebebasan itu diperlukan agar manusia tidak terpecah belah jati dirinya. Sintesa persepsi itu disebut moral imagination, sebuah rangkaian keputusan atau pilihan yang betul-betul personal atau subyektif.  
Dalam pengertian itu, otoritas moral tidak lagi berada pada masyarakat, keluarga atau sebuah teks suci, tetapi dalam hati sanubari seorang individu. Segala petunjuk, perintah, guidancedari otoritas di luar diri manusia, seolah menjadi sumbangan saja, dan diri manusia sendirilah yang mengambil keputusan berlaku tidaknya bagi dirinya sendiri. 
Kedua, sampai di titik itu moral imagination merupakan hasil kerja yang seolah berada dalam hati dan budi individual. Selanjutnya Rudolf mengamati peran ego, yang mempunyai “kehendak untuk bertindak” dalam diri manusia untuk mempengaruhi dunia di luar dirinya, berpangkal dari imaginasi moral yang yang sudah dimilikinya. Ego yang hendak mengkomunikasikan dirinya itu disebutnya self-awareness (lagi, jangan diterjemahkan dengan kata “kesadaran”).  
Dalam arti itu, muncul tindakan yang sungguh bebas, atau kebebasan. Kebebasan lalu berarti segala ragam tindakan yang diambil berdasarkan kehendak bebas yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan moral imagination seseorang. Maka kebebasan dalam arti itu dengan sendirinya selalu dan sama dengan kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Yakni, dapat dipertanggungjawabkan dengan menggunakan perangkat moral imaginationnya.
Tetapi hendaknya kita berhati-hati menggunakan istilah “kebebasan yang bertanggungjawab” yang sering secara instinktif, diartikan sebagai tanggungjawab yang didasarkan pada otoritas di luar dirinya (peraturan, teks, ideologi, kepercayaan, nilai-nilai kelompok/masyarakat/suku dsb), karena istilah itu rawan manipulasi. 
Moral imangination dengan sendirinya akan mencapai bentuk yang tertinggi, manakala manusia dibantu dan mampu membebaskan diri dari instink naturalnya dan dari tekanan kelompok, dari prasangka-prasangka yang diwariskan oleh keluarga, suku, kelompok agamanya dan sebagainya. Dan di ujung itu Rudolf mengatakan: 
Live through deeds of love, and let others live with understanding for each person’s unique intentions” 
Ringkasnya: 
Tindakan yang betul-betul bebas (self-awareness) hanya mungkin terjadi bila berpangkal dari sintesa persepsi yang disebut moral imagination.  Imaginasi moral ini merupakan konstruksi kreatif dari kontradiksi-kontradiksi yang di temui manusia ketika manusia mendapat kesempatan untuk meneliti motif-motif mana yang bekerja dan mempengaruhi dirinya. Kontradiksi-kontradiksi itu hanya muncul karena persepsi kita tersensor oleh berbagai motif, baik naluriah maupun warisan-warisan prasangka.  
Aplikasinya: 
Realita yang dihadapi manusia adalah realita persepsi yang penuh kontradiksi, baik dan buruk saling menggauli, benar dan salah berdamping-dampingan, hidup dan mati terjadi serentak, sehat dan sakit saling melengkapi. Menghadapi situasi itu, kehendak bebas untuk membuat sintesa imaginasi moral harus dijamin. Dan hanya berpangkal dari imaginasi moral yang bermutu, tindakan yang betul-betul bebas secara moral dapat muncul.  Mutu keputusan atau tindakan manusia ditentukan oleh apakah tindakan itu sungguh berasal dari kehendak bebas. Pergi berdoa karena dipaksa, dan takut dihukum, sama sekali tidak bermutu, tidak manusiawi. Manusia lalu sama seperti bola salju yang dilempar orang ke
sana kemari. Terpecah dan tanpa arah. 
Lalu, apakah kebebasan harus diatur? Apa relevansinya dengan freedom of speech
Dalam konteks itu freedom of speech menjadi salah satu prasyarat penting agar manusia dapat tetap bertemu dengan berbagai kontradiksi, meneliti motif-motif dalam dirinya, dan lalu dapat mengkonstruksi moral imagination yang semakin berbobot. Prasyarat-prasyarat lain terangkum dalam semua hal yang dirumuskan sebagai hak azasi manusia. Freedom of speech diperlukan karena bagaimanapun moral imagination, sebagai dasar tindakan, tidak pernah lengkap, tidak pernah sempurna dan selalu harus dikritisi.  Apa peran keluarga/masyarakat/pemerintah? Peraturan, nilai dan norma masyarakat tentu diperlukan. Untuk apa? Bukan pertama-tama untuk memberi batas-batas, sebaliknya pertama-tama untuk memberi jaminan kesempatan tiap individu membangun imaginasi moralnya yang makin lama-makin lengkap. Peraturan harus dibuat untuk mempertahankan ruang situasi kebebasan itu, dan bukannya menutupinya. Menutup-nutupi beresiko lenyapnya imaginasi moral otentik dan tidak ada lagi tindakan yang didasarkan pada keputusan bebas manusia. Peraturan ditujukan untuk melindungi agar ruang-ruang kebebasan dapat di jamin keberadaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar