Kebebasan yang Sebenarnya
Kita sering mengira definisi kebebasan
berarti dapat berpikir semaunya dan bertindak semaunya. Tetapi itu suatu
definisi yang tidak hanya ditolak para pemikir kebebasan, tapi juga tidak
operasional.
Pertama, karena kita hidup dalam masyarakat
yang memproduksi banyak peraturan dan nilai-nilai moral tentang baik dan buruk.
Tindakan kita dibatasi oleh aturan dan nilai-nilai moral. Dengan kata lain, kebebasan sosial kita terbatas
Kedua, kalaupun kita hidup seperti
Robinson Crusoe, di sebuah pulau terpencil tanpa orang lain, tetap Robinson
tidak dapat bertindak semaunya. Mungkin ia ingin terbang supaya bisa pulang.
Tapi tentu tidak mungkin. Jadi fisik kita pun membatasi kebebasan bertindak
meskipun kita ingin. Makin tua kita, makin terbatas kebebasan fisik
manusia.
Ketiga, andaipun Robinson bisa
terbang, tindakan terbangnya itu pun dibatasi dan seolah ditentukan (lagi) oleh nalurinya: rasa lapar, rasa
rindu, keinginan untuk tetap hidup, dan harapan untuk pulang ke kampung
halamannya. Kebebasan psikis kita dikerangkeng oleh berbagai
naluri, nafsu dan impuls-impuls.
Jadi pengertian kebebasan untuk bertindak
semaunya itu dalam dunia nyata maupun imajinasi tidak dapat
dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah akal budi.
Lalu apa dong kebebasan itu? Di sini,
sumbangan Rudolf
Steiner mengenai
filsafat kebebasan menjadi sangat berguna untuk membantu kita memahami
kebebasan. Gagasannya saya ringkas sebagai berikut: Pertama Rudolf menunjuk adanya dua realita:
yaitu manusia dan di luar manusia. Manusia dilengkapi kemampuan yang disebut sensory perceptions untuk mengakses realita di luar
dirinya yang beragam (alam, tumbuhan, binatang, orang lain). Persepsi yang
tersensor ini ternyata toh
dipengaruhi oleh tujuh instansi/level motives yaitu: reflexes, drives, desires, motifs,
wishes, intentions, and commitments.
Dengan kombinasi berbagai level itu, manusia
memproduksi berbagai persepsi yang tersensor untuk memaknai dunia luar dan
dirinya, istilahnya consciousness (tolong jangan diterjemahkan menjadi
“kesadaran”). Karena
tersensor, celakanya atau untungnya, persepsi itu menghasilkan sebuah dunia
pemahaman yang penuh kontradiksi, dualitas, polarisasi: baik-buruk,
benar-salah, cantik-jelek dsb. Semakin berargam level motif yang memasuki
sebuah fenomena, semakin ruwet polarisasi persepsi itu.
Pada titik itu, hebatnya manusia, muncul
fenomena kehendak bebas, yaitu kemampuan dalam diri manusia untuk membuat
pilihan-piliahan dan lalu menciptakan sintesa kreatif atas persepsi yang
berbeda-beda. Oleh Rudolf kemampuan itu disebut kehendak bebas (free-will).
Dengan kata lain, kehendak bebas hanya
muncul dalam kontradiksi-kontradiksi. Tanpa kontradiksi tidak ada wilayah untuk
melakukan eksplorasi kebebasan. Sintesa berbagai persepsi yang berasal dari
kebebasan itu diperlukan agar manusia tidak terpecah belah jati dirinya.
Sintesa persepsi itu disebut moral
imagination, sebuah rangkaian keputusan atau pilihan yang betul-betul
personal atau subyektif.
Dalam pengertian itu, otoritas moral tidak
lagi berada pada masyarakat, keluarga atau sebuah teks suci, tetapi dalam hati
sanubari seorang individu. Segala petunjuk, perintah, guidancedari otoritas di luar
diri manusia, seolah menjadi sumbangan saja, dan diri manusia sendirilah yang
mengambil keputusan berlaku tidaknya bagi dirinya sendiri.
Kedua, sampai di titik itu moral imagination merupakan hasil kerja yang
seolah berada dalam hati dan budi individual. Selanjutnya Rudolf mengamati
peran ego, yang mempunyai “kehendak untuk
bertindak” dalam diri manusia untuk mempengaruhi dunia di luar dirinya,
berpangkal dari imaginasi moral yang yang sudah dimilikinya. Ego yang hendak mengkomunikasikan
dirinya itu disebutnya self-awareness (lagi, jangan diterjemahkan
dengan kata “kesadaran”).
Dalam arti itu, muncul tindakan yang sungguh
bebas, atau kebebasan. Kebebasan lalu berarti segala ragam tindakan yang
diambil berdasarkan kehendak bebas yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan moral
imagination seseorang. Maka
kebebasan dalam arti itu dengan sendirinya selalu dan sama dengan kebebasan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Yakni, dapat dipertanggungjawabkan dengan
menggunakan perangkat moral
imaginationnya.
Tetapi hendaknya kita berhati-hati
menggunakan istilah “kebebasan yang bertanggungjawab” yang sering secara
instinktif, diartikan sebagai tanggungjawab yang didasarkan pada otoritas di
luar dirinya (peraturan, teks, ideologi, kepercayaan, nilai-nilai
kelompok/masyarakat/suku dsb), karena istilah itu rawan manipulasi.
Moral imangination dengan sendirinya akan mencapai
bentuk yang tertinggi, manakala manusia dibantu dan mampu membebaskan diri dari
instink naturalnya dan dari tekanan kelompok, dari prasangka-prasangka yang
diwariskan oleh keluarga, suku, kelompok agamanya dan sebagainya. Dan di ujung
itu Rudolf mengatakan: “
Live through deeds of love, and let
others live with understanding for each person’s unique intentions”
Ringkasnya:
Tindakan yang betul-betul bebas (self-awareness) hanya mungkin terjadi bila
berpangkal dari sintesa persepsi yang disebut moral
imagination. Imaginasi
moral ini merupakan konstruksi kreatif dari kontradiksi-kontradiksi yang di
temui manusia ketika manusia mendapat kesempatan untuk meneliti motif-motif
mana yang bekerja dan mempengaruhi dirinya. Kontradiksi-kontradiksi itu hanya
muncul karena persepsi kita tersensor oleh berbagai motif, baik naluriah maupun
warisan-warisan prasangka.
Aplikasinya:
Realita yang dihadapi manusia adalah realita
persepsi yang penuh kontradiksi, baik dan buruk saling menggauli, benar dan
salah berdamping-dampingan, hidup dan mati terjadi serentak, sehat dan sakit
saling melengkapi. Menghadapi situasi itu, kehendak bebas untuk membuat sintesa
imaginasi moral harus dijamin. Dan hanya berpangkal dari imaginasi moral yang
bermutu, tindakan yang betul-betul bebas secara moral dapat muncul. Mutu keputusan atau tindakan
manusia ditentukan oleh apakah tindakan itu sungguh berasal dari kehendak
bebas. Pergi berdoa karena dipaksa, dan takut dihukum, sama sekali tidak
bermutu, tidak manusiawi. Manusia lalu sama seperti bola salju yang dilempar
orang ke
sana kemari. Terpecah dan tanpa arah.
sana kemari. Terpecah dan tanpa arah.
Lalu, apakah kebebasan harus diatur? Apa relevansinya dengan freedom of speech?
Dalam konteks itu freedom of speech menjadi salah satu prasyarat
penting agar manusia dapat tetap bertemu dengan berbagai kontradiksi, meneliti
motif-motif dalam dirinya, dan lalu dapat mengkonstruksi moral imagination yang semakin berbobot.
Prasyarat-prasyarat lain terangkum dalam semua hal yang dirumuskan sebagai hak
azasi manusia. Freedom of speech diperlukan karena bagaimanapun moral imagination, sebagai dasar tindakan, tidak
pernah lengkap, tidak pernah sempurna dan selalu harus dikritisi. Apa peran keluarga/masyarakat/pemerintah? Peraturan,
nilai dan norma masyarakat tentu diperlukan. Untuk apa? Bukan pertama-tama
untuk memberi batas-batas, sebaliknya pertama-tama untuk memberi jaminan kesempatan tiap individu membangun
imaginasi moralnya yang makin lama-makin lengkap. Peraturan harus dibuat untuk
mempertahankan ruang situasi kebebasan itu, dan bukannya menutupinya.
Menutup-nutupi beresiko lenyapnya imaginasi moral otentik dan tidak ada lagi
tindakan yang didasarkan pada keputusan bebas manusia. Peraturan ditujukan
untuk melindungi agar ruang-ruang kebebasan dapat di jamin keberadaannya.


