Minggu, 21 Desember 2014

Kebebasan yang Sebenarnya

Kebebasan yang Sebenarnya

Kita sering mengira definisi kebebasan berarti dapat berpikir semaunya dan bertindak semaunya. Tetapi itu suatu definisi yang tidak hanya ditolak para pemikir kebebasan, tapi juga tidak operasional.    
Pertama, karena kita hidup dalam masyarakat yang memproduksi banyak peraturan dan nilai-nilai moral tentang baik dan buruk. Tindakan kita dibatasi oleh aturan dan nilai-nilai moral. Dengan kata lain, kebebasan sosial kita terbatas 
Kedua, kalaupun kita hidup seperti Robinson Crusoe, di sebuah pulau terpencil tanpa orang lain, tetap Robinson tidak dapat bertindak semaunya. Mungkin ia ingin terbang supaya bisa pulang. Tapi tentu tidak mungkin. Jadi fisik kita pun membatasi kebebasan bertindak meskipun kita ingin. Makin tua kita, makin terbatas kebebasan fisik manusia.   
Ketiga, andaipun Robinson bisa terbang, tindakan terbangnya itu pun dibatasi dan  seolah ditentukan (lagi)  oleh nalurinya: rasa lapar, rasa rindu, keinginan untuk tetap hidup, dan harapan untuk pulang ke kampung halamannya. Kebebasan psikis kita dikerangkeng oleh berbagai naluri, nafsu dan impuls-impuls.
Jadi pengertian kebebasan untuk bertindak semaunya itu dalam dunia nyata maupun imajinasi tidak dapat dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah akal budi.  
Lalu apa dong kebebasan itu? Di sini, sumbangan Rudolf Steiner  mengenai filsafat kebebasan menjadi sangat berguna untuk membantu kita memahami kebebasan. Gagasannya saya ringkas sebagai berikut: Pertama Rudolf menunjuk adanya dua realita: yaitu manusia dan di luar manusia. Manusia dilengkapi kemampuan yang disebut sensory perceptions untuk mengakses realita di luar dirinya yang beragam (alam, tumbuhan, binatang, orang lain). Persepsi yang tersensor ini  ternyata toh dipengaruhi oleh tujuh instansi/level motives yaitu: reflexes, drives, desires, motifs, wishes, intentions, and commitments
Dengan kombinasi berbagai level itu, manusia memproduksi berbagai persepsi yang tersensor untuk memaknai dunia luar dan dirinya, istilahnya consciousness (tolong jangan diterjemahkan menjadi “kesadaran”).  Karena tersensor, celakanya atau untungnya, persepsi itu menghasilkan sebuah dunia pemahaman yang penuh kontradiksi, dualitas, polarisasi: baik-buruk, benar-salah, cantik-jelek dsb. Semakin berargam level motif yang memasuki sebuah fenomena, semakin ruwet polarisasi persepsi itu.  
Pada titik itu, hebatnya manusia, muncul fenomena kehendak bebas, yaitu kemampuan dalam diri manusia untuk membuat pilihan-piliahan dan lalu menciptakan sintesa kreatif atas persepsi yang berbeda-beda. Oleh Rudolf kemampuan itu disebut kehendak bebas (free-will).  
Dengan kata lain, kehendak bebas hanya muncul dalam kontradiksi-kontradiksi. Tanpa kontradiksi tidak ada wilayah untuk melakukan eksplorasi kebebasan. Sintesa berbagai persepsi yang berasal dari kebebasan itu diperlukan agar manusia tidak terpecah belah jati dirinya. Sintesa persepsi itu disebut moral imagination, sebuah rangkaian keputusan atau pilihan yang betul-betul personal atau subyektif.  
Dalam pengertian itu, otoritas moral tidak lagi berada pada masyarakat, keluarga atau sebuah teks suci, tetapi dalam hati sanubari seorang individu. Segala petunjuk, perintah, guidancedari otoritas di luar diri manusia, seolah menjadi sumbangan saja, dan diri manusia sendirilah yang mengambil keputusan berlaku tidaknya bagi dirinya sendiri. 
Kedua, sampai di titik itu moral imagination merupakan hasil kerja yang seolah berada dalam hati dan budi individual. Selanjutnya Rudolf mengamati peran ego, yang mempunyai “kehendak untuk bertindak” dalam diri manusia untuk mempengaruhi dunia di luar dirinya, berpangkal dari imaginasi moral yang yang sudah dimilikinya. Ego yang hendak mengkomunikasikan dirinya itu disebutnya self-awareness (lagi, jangan diterjemahkan dengan kata “kesadaran”).  
Dalam arti itu, muncul tindakan yang sungguh bebas, atau kebebasan. Kebebasan lalu berarti segala ragam tindakan yang diambil berdasarkan kehendak bebas yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan moral imagination seseorang. Maka kebebasan dalam arti itu dengan sendirinya selalu dan sama dengan kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Yakni, dapat dipertanggungjawabkan dengan menggunakan perangkat moral imaginationnya.
Tetapi hendaknya kita berhati-hati menggunakan istilah “kebebasan yang bertanggungjawab” yang sering secara instinktif, diartikan sebagai tanggungjawab yang didasarkan pada otoritas di luar dirinya (peraturan, teks, ideologi, kepercayaan, nilai-nilai kelompok/masyarakat/suku dsb), karena istilah itu rawan manipulasi. 
Moral imangination dengan sendirinya akan mencapai bentuk yang tertinggi, manakala manusia dibantu dan mampu membebaskan diri dari instink naturalnya dan dari tekanan kelompok, dari prasangka-prasangka yang diwariskan oleh keluarga, suku, kelompok agamanya dan sebagainya. Dan di ujung itu Rudolf mengatakan: 
Live through deeds of love, and let others live with understanding for each person’s unique intentions” 
Ringkasnya: 
Tindakan yang betul-betul bebas (self-awareness) hanya mungkin terjadi bila berpangkal dari sintesa persepsi yang disebut moral imagination.  Imaginasi moral ini merupakan konstruksi kreatif dari kontradiksi-kontradiksi yang di temui manusia ketika manusia mendapat kesempatan untuk meneliti motif-motif mana yang bekerja dan mempengaruhi dirinya. Kontradiksi-kontradiksi itu hanya muncul karena persepsi kita tersensor oleh berbagai motif, baik naluriah maupun warisan-warisan prasangka.  
Aplikasinya: 
Realita yang dihadapi manusia adalah realita persepsi yang penuh kontradiksi, baik dan buruk saling menggauli, benar dan salah berdamping-dampingan, hidup dan mati terjadi serentak, sehat dan sakit saling melengkapi. Menghadapi situasi itu, kehendak bebas untuk membuat sintesa imaginasi moral harus dijamin. Dan hanya berpangkal dari imaginasi moral yang bermutu, tindakan yang betul-betul bebas secara moral dapat muncul.  Mutu keputusan atau tindakan manusia ditentukan oleh apakah tindakan itu sungguh berasal dari kehendak bebas. Pergi berdoa karena dipaksa, dan takut dihukum, sama sekali tidak bermutu, tidak manusiawi. Manusia lalu sama seperti bola salju yang dilempar orang ke
sana kemari. Terpecah dan tanpa arah. 
Lalu, apakah kebebasan harus diatur? Apa relevansinya dengan freedom of speech
Dalam konteks itu freedom of speech menjadi salah satu prasyarat penting agar manusia dapat tetap bertemu dengan berbagai kontradiksi, meneliti motif-motif dalam dirinya, dan lalu dapat mengkonstruksi moral imagination yang semakin berbobot. Prasyarat-prasyarat lain terangkum dalam semua hal yang dirumuskan sebagai hak azasi manusia. Freedom of speech diperlukan karena bagaimanapun moral imagination, sebagai dasar tindakan, tidak pernah lengkap, tidak pernah sempurna dan selalu harus dikritisi.  Apa peran keluarga/masyarakat/pemerintah? Peraturan, nilai dan norma masyarakat tentu diperlukan. Untuk apa? Bukan pertama-tama untuk memberi batas-batas, sebaliknya pertama-tama untuk memberi jaminan kesempatan tiap individu membangun imaginasi moralnya yang makin lama-makin lengkap. Peraturan harus dibuat untuk mempertahankan ruang situasi kebebasan itu, dan bukannya menutupinya. Menutup-nutupi beresiko lenyapnya imaginasi moral otentik dan tidak ada lagi tindakan yang didasarkan pada keputusan bebas manusia. Peraturan ditujukan untuk melindungi agar ruang-ruang kebebasan dapat di jamin keberadaannya.

Kesalahan Moral

Kesalahan Moral

Apa kesalahan moral itu? kesalahan moral terjadi jika orang mengerti dan berbuat dengan sengaja. Jadi maksudnya yaitu seperti ketika Anda mengetahui dan mengerti mencontek itu tidak boleh, namun Anda tetap melakukannya dengan sadar dan sengaja, nah itulah yang dimaksud dengan kesalahan moral. Ada pula dijelaskan oleh beberapa ahli filosof, salah satunya Frederich Nietzchen yang berpandangan bahwa rasa salah moral itu hanyalah perasaan anak kecil atau budak saja, manusia tidak perlu merasa bersalah/berdosa ketika menyakiti sesama, karena sudah merupakan fungsi atau pelaksanaan hidup manusia. Jadi baginya manusia atau bangsa yang unggul itu tidak berlaku norma apa pun. Pendapat ini tentunya sangatlah ekstrem, orang yang mempraktikkannya itu seperti Hitler, ras Aria, tindakan Israel.
Dalam Islam moralitas itu merupakan akhlak. Moralitas merupakan suatu nilai, nilai merupakan pilihan bagi manusia dalam menjalankan hidup, sehingga kita sering mendengar istilah ‘hidup itu pilihan’.. Memang benar dalam hidup ini kita sering dihadapkan berbagai pilihan dengan berbeda-beda nilai pula yang terkandung di dalamnya. Pada dasarnya, tidak ada masyarakat tanpa ‘sistem nilai’. Yang menjadi dorongan-dorongan kita dalam berperilaku itu diantaranya adalah tujuan, kesenangan, happiness, dan kegunaan. Saat ini banyak manusia yang hanya ingin menikmati hidup saja taua yang dikenal dengan istilah ‘hedonis’, tapi sebenarnya sejak zaman Yunani Kuno ajaran kenikmatan jasmaniah/hedonisme itu sudah ada dalam menjelaskan letak manusia terbaik, semboyan yang terkenal pada awal abad di zaman Yunani Romawi yaitu ‘Carpe diem’ yang artinya ‘petiklah dan gunakanlah tiap-tiap hari’. Pada hakikatnya, nilai terbaik atau tertinggi dari manusia itu terdapat dalam kepribadiannya. terdapat dua jenis nilai yaitu yang pertama nilai subjektif adalah nilai terdapat pada subjek pengamat/penilai, lalu ada nilai objektif adalah nilai berada dalam bendanya sejak awal yang terpisah dari pengamat/penilai.
Sebenarnya kita bisa memilih terhadap nilai, prinsipnya nilai instrinsiklah yang harus di dahulukan lalu kemudian nilai ekstrinsiknya. Contohnya seperti membudidayakan tanaman hias, hal tersebut akan baik bagi dirinya atau sebagai sarana untuk mencari kekayaan. Jadi, hal-hal yang instrinsik tersebut merupakan tujuan kita, dan yang diluar itu kita jadikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu.
Jadi seperti kasus jubir FPI yang menyiram sosiolog dari UI dengan air itu termasuk permasalahan moral/ tidakan tidak terpuji. Semestinya jika kita disanggah oleh orang tentunya kita bisa meng-handle perilaku kita, seharusnya kita masih bisa mengkontrol diri. Topiknya yang dibahas yaitu mengenai pelarangan sweeping hiburan malam dan tentunya ini adalah hal sensitif dimana sekarang sudah hampir memasuki bulan ramadhan. Namun, setidaknya sebagai ormas yang mengaku pembela Islam itu setidaknya bisa lebih bertindak rasional, karena dengan berperila tidak terpuji seperti itu hanya akan menodai nama baik Islam.
Oleh karena itu, apa pun itu tidak ada yang value free, melainkan selalu terikat nilai. Kita boleh melakukan pembelaan terhadap apa yang kita pegang, namun jangan sampai melanggar nilai. Karena nilai itu merupakan guidance dalam berperilaku.

Presiden RI dalam Ramalan Satrio Piningit Ronggowarsito

Presiden RI dalam Ramalan Satrio Piningit Ronggowarsito
Trio Lelono Topo Ngrame, Satrio Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu. Berkenaan dengan itu, banyak kalangan yang kemudian mencoba menafsirkan ke-tujuh Satrio Piningit itu adalah sebagai berikut :
  1. SATRIO KINUNJORO MURWOKUNCORO. Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), yang akan membebaskan bangsa ini dari belenggu keterpenjaraan dan akan kemudian menjadi tokoh pemimpin yang sangat tersohor diseluruh jagad (Murwo Kuncoro). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang juga Pemimpin Besar Revolusi dan pemimpin Rezim Orde Lama. Berkuasa tahun 1945-1967.
  2. SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR. Tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti (Wibowo), namun akan mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba buruk dan juga selalu dikaitkan dengan segala keburukan / kesalahan (Kesandung Kesampar). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua Republik Indonesia dan pemimpin Rezim Orde Baru yang ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998.
  3. SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR. Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (Jinumput) akan tetapi hanya dalam masa jeda atau transisi atau sekedar menyelingi saja (Sumela Atur). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai BJ Habibie, Presiden Ketiga Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1998-1999.
  4. SATRIO LELONO TAPA NGRAME. Tokoh pemimpin yang suka mengembara / keliling dunia (Lelono) akan tetapi dia juga seseorang yang mempunyai tingkat kejiwaan Religius yang cukup / Rohaniawan (Tapa Ngrame). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Keempat Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1999-2000.
  5. SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH. Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia. Berkuasa tahun 2000-2004.
  6. SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO. Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (Boyong) dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju tercapainya zaman keemasan (Pambukaning Gapuro). Banyak pihak yang menyakini tafsir dari tokoh yang dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia akan selamat memimpin bangsa ini dengan baik manakala mau dan mampumensinergikan dengan kekuatan Sang Satria Piningit atau setidaknya dengan seorang spiritualis sejati satria piningit yang hanya memikirkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga gerbang mercusuar dunia akan mulai terkuak. Mengandalkan para birokrat dan teknokrat saja tak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Ancaman bencana alam, disintegrasi bangsa dan anarkhisme seiring prahara yang terus terjadi akan memandulkan kebijakan yang diambil.
  7. SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU. Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (Pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum / petunjuk Allah SWT (Sinisihan Wahyu). Dengan selalu bersandar hanya kepada Allah SWT, Insya Allah, bangsa ini akan mencapai zaman keemasan yang sejati.
Selain masing-masing satrio itu menjadi ciri-ciri dari masing-masing pemimpin NKRI pada setiap masanya, ternyata tujuh satrio piningit itu melambangkan tujuh sifat yang menyatu di dalam diri seorang pandhita yang telah kita tahu adalah Putra Betara Indra yang juga Budak Angon seperti telah diungkap di atas. Berikut ini adalah sifat-sifat “Satrio Piningit” sejati hasil bedah hakekat bapak Budi Marhaen terhadap apa yang telah ditulis oleh R.Ng. Ronggowarsito :
  1. Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro melambangkan orang yang sepanjang hidupnya terpenjara namun namanya harum mewangi. Sifat ini hanya dimi­liki oleh orang yang telah menguasai Artadaya (ma’rifat sebenar-benar ma’rifat). Diberikan anugerah kewaskitaan atau kesaktian oleh Allah SWT, namun tidak pernah menampakkan kesaktiannya itu. Jadi sifat ini melambangkan orang berilmu yang amat sangat tawadhu’.
  2. Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar melambangkan orang yang kaya akan ilmu dan berwibawa, namun hidupnya kesandung kesampar, artinya penderitaan dan pengorbanan telah menjadi teman hidupnya yang setia. Tidak terkecuali fitnah dan caci maki selalu menyertainya. Semua itu dihadapinya dengan penuh kesabaran, ikhlas dan tawakal.
  3. Satrio Jinumput Sumelo Atur melambangkan orang yang terpilih oleh Allah SWT guna melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjalankan missi-Nya. Hal ini dibuktikan dengan pemberian anugerah-Nya berupa ilmu laduni kepada orang tersebut.
  4. Satrio Lelono Topo Ngrame melambangkan orang yang sepanjang hidupnya melakukan perjalanan spiritual dengan melakukan tasawuf hidup (tapaning ngaurip). Bersikap zuhud dan selalu membantu (tetulung) kepada orang-orang yang dirundung kesulitan dan kesusahan dalam hidupnya.
  5. Satrio Hamong Tuwuh melambangkan orang yang memiliki dan membawa kharisma leluhur suci serta memiliki tuah karena itu selalu mendapatkan pengayoman dan petunjuk dari Allah SWT. Dalam budaya Jawa orang tersebut biasanya ditandai dengan wasilah memegang pusaka tertentu sebagai perlambangnya.
  6. Satrio Boyong Pambukaning Gapuro melambangkan orang yang melakukan hijrah dari suatu tempat ke tempat lain yang diberkahi Allah SWT atas petunjuk-Nya. Hakekat hijrah ini adalah sebagai perlambang diri menuju pada kesempurnaan hidup (kasampurnaning ngaurip). Dalam kaitan ini maka tempat yang ditunjuk itu adalah Lebak Cawéné = Gunung Perahu = Semarang Tembayat.
  7. Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu melambangkan orang yang memiliki enam sifat di atas. Sehingga orang tersebut digambarkan sebagai seorang pinandhita atau alim yang selalu mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Maka hakekat Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu adalah utusan Allah SWT atau bisa dikatakan seorang Aulia (waliyullah).


Presiden RI dalam Mitos Notonegoro

Presiden RI dalam Mitos Notonegoro
            Mitos notonegoro sebenarnya bercerita tentang satria piningit (satria yang ditunggu), Ratu Adil, juru selamat, messiah, imam mahdi, atau dalam budaya Asia Timur disebut Kalky Autar atau Avatar, sedangkan dalam mitologi Yunani disebut Prometheus, dewa yang memberikan api (pencerahan) pada manusia.
            Dari mitos ini kita mengenal nama Soekarno, karena suku kata namanya berakhiran “no” dan entah mengapa kemudian dihubungkan dengan mitos ramalan “notonegoro”. Lalu ditafsirkan bahwa orang yang bisa ‘menata negara’ atau menjadi pemimpin di Nusantara adalah orang yang namanya berakhiran no, to, ne, go, atau ro. Bisa juga cukup “no” dan “to” saja.  
Buah dari akibat ramalan ini adalah suku kata “no” dan “to” menjadi suku kata akhir kebanyakan nama orang Jawa. Para orangtua (untuk laki-laki) memberi nama anaknya dengan akhiran  “no” atau “to”, tujuannya adalah supaya anak tersebut menjadi raja atau presiden.
Akibat mitos notonegoro, menjelang Pilpres orang Jawa selalu akan mengotak-atik (gathuk) tentang orang yg akan jadi pemimpin masa depan. Namanya juga “gathuk” atau otak-atik asal comot yang penting kena, kalau tidak pas tentu akan dipas-paskan.
 Presiden pertama RI, Soekarno atau “no”, kemudian Soeharto atau “to”. Sampai di sini pas dengan “no-to”. Pada era 90-an saat Soeharto masih berkuasa, ramalan presiden ke tiga sudah terlihat sangat transparan. Seolah memang sudah dipersiapkan, semua orang sudah meyakini bahwa orang ke tiga adalah sang wakil sendiri, yaitu Tri Sutrisno. Begitu melihat nama, penafsiran orang-orang menunjuk angka tiga (try) dan“no” (ramalan dalam notonegoro). Namun kenyataan berbicara lainPresiden Soeharto tidak mau meneruskan jabatan Try Sutrisno sebagai wapres dan menunjuk BHabibie sebagai wakil yang kemudian menjadi Presiden RI setelah terjadi gerakan reformasi.
Hal ini membuat ramalan notonegoro menjadi bias. Lalu ada “gathukan” dicocok-cocokkan. no (Soekarno), to (Soeharto), ne; bukan orang Jawa (BJ Habibie), goro; ribut-ribut (terbukti dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid yang kemudian digantikan Megawati). Terus balik lagi ke no (Susilo Bambang Yudhoyono). 
Selain dipahami secara kultural, historis, maupun metafisika, ramalan Jayabaya mungkin bisa juga dipahami secara ilmiah. no-to-ne-go-ro menunjukkan keragaman nama dan kebhinekaan manusia Indonesia, tidak ada satu pun dari suku kata tersebut sama. Hal ini menandakan bahwa yang memimpin Indonesia harus berbeda-beda orangnya di setiap generasi. Indonesia adalah milik semua, bukan milik satu nama tertentu, bukan milik keturunan tertentu, bukan milik suku tertentu, dan bukan milik suatu daerah tertentu. Semuanya akan berputar dan berganti.   
Bahwa manusia dan peradaban memang selalu bisa bangkit, hancur, dan bangkit lagi. Dan mungkin karena Jayabaya menyadari manusia bisa lupa, dia sengaja menulis ini sebagai peringatan agar manusia tidak lupa. Mungkin, ini juga dorongan pada manusia agar selalu berbesar hati, optimis, dan selalu berpengharapan baik di masa depan walaupun masa lalu dan masa kini tengah suram. Bahwa di saat yang paling berat sekalipun, suatu hari akhirnya akan datang juga masa kebangkitan dan pencerahan.

Ontologis Gunung Santri

Mengapa Gunung Santri menjadi Salah Satu Objek Wisata Religius Di Kabupaten Serang? Ada Makam Siapa Disana?


Gunung santri merupakan salah satu bukit yang ada di Desa Bojonegara, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang. Gunung Santri ini merupakan salah satu tempat penzirahan yang sering dikunjungi oleh masyarakat Banten atau pun luar Banten. Hal ini disebabkan karena di puncak gunung santri tersebut terdapat makan seorang wali yaitu Syekh Muhammad Sholeh. Gunung Santri ini pun memiliki kisah sejarah yang sangat mengesankan. 
Dan beginilah kisahnya. 

Syekh Muhammad Sholeh adalah Santri dari Sunan Ampel, setelah menimba ilmu beliau menemui Sultan Syarif Hidayatullah atau lebih di kenal dengan gelar Sunan Gunung Jati (ayahanda dari Sultan Hasanudin) pada masa itu penguasa Cirebon. Dan Syeh Muhamad Sholeh diperintahkan oleh Sultan Syarif Hidayatullah untuk mencari putranya yang sudah lama tidak ke Cirebon dan sambil berdakwah yang kala itu Banten masih beragama hindu dan masih dibawah kekuasaan kerajaan pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun dengan pusat pemerintahanya berada di Banten Girang.
Sesuai ketelatennya akhirnya Syekh Muhammad Sholeh pun bertemu Sultan Hasanudin di Gunung Lempuyang dekat kampung Merapit Desa Ukir Sari Kec. Bojonegara yang terletak di sebelah barat pusat kecamatan yang sedang Bermunajat kepada Allah SWT. Setelah memaparkan maksud dan tujuannya, Sultan Hasanudin pun menolak untuk kembali ke Cirebon. 
Karena kedekatannya dengan ayahnya Sultan Hasanudin yaitu Syarif Hidayatullah, akhirnya Sultan Hasanudin pun mengangkat Syekh Muhammad Sholeh untuk menjadi pengawal sekaligus penasehat dengan julukan “Cili Kored” karena berhasil dengan pertanian dengan mengelola sawah untuk hidup sehari-hari dengan julukan sawah si derup yang berada di blok Beji.
Syiar agam Islam yang dilakukan Sultan Hasanudin mendapat tantangan dari Prabu Pucuk Umun, karena berhasil menyebarkan agama Islam di Banten sampai bagian Selatan Gunung Pulosari (Gunung Karang) dan Pulau Panaitan Ujung Kulon. Keberhasilan ini mengusik Prabu Pucuk Umun karena semakin kehilangan pengaruh, dan menantang Sultan Hasanudin untuk bertarung dengan cara mengadu ayam jago dan sebagai taruhannya akan dipotong lehernya, tantangan Prabu Pucuk umun diterima oleh sultan Hasanudin.
Setelah Sultan Hasanudin bermusyawarah dengan pengawalnya Syekh Muhamad Soleh, akhirnya disepakati yang akan bertarung melawan Prabu Pucuk Umun adalah Syekh Muhamad Sholeh yang bisa menyerupai bentuk ayam jago seperti halnya ayam jago biasa. Hal ini terjadi karena kekuasaan Allah SWT.
Pertarungan dua ayam jago tersebut berlangsung seru namun akhirnya ayam jago milik Sultan Maulana Hasanudin yang memenangkan pertarungan dan membawa ayam jago tersebut kerumahnya. 
Ayam jago tersebut berubah menjadi sosok Syekh Muhammad Sholeh sekembalinya di rumah Sultan Maulana Hasanudin. Akibat kekalahan adu ayam jago tersebut Prabu Pucuk Umun pun tidak terima dan mengajak berperang Sultan Maulana Hasanudin, mungkin sedang naas pasukan Prabu Pucuk Umun pun kalah dalam perperangan dan mundur ke selatan bersembunyi di pedalaman rangkas yang sekarang dikenal dengan suku Baduy.
Setelah selesai mengemban tugas dari Sultan Maulana Hasanudin, Syekh Muhammad Sholeh pun kembali ke kediamannya di Gunung santri dan melanjutkan aktifitasnya sebagai mubaligh dan menyiarkan agama Islam kembali. Keberhasilan Syekh Muhammad Sholeh dalam menyebarkan agama Islam di pantai utara banten ini didasari dengan rasa keihlasan dan kejujuran dalam menanamkan tauhid kepada santrinya, semua itu patut di teladani oleh kita semua oleh generasi penerus untuk menegakkan amal ma’ruf nahi munkar.
Beliau Wafat pada usia 76 Tahun dan beliau berpesan kepada santrinya jika ia wafat untuk dimakamkan di Gunung Santri dan di dekat makan beliau terdapat pengawal sekaligus santri syekh Muhammad Sholeh yaitu makam Malik, Isroil, Ali dan Akbar yang setia menemani syekh dalam meyiarkan agama Islam. Syekh Muhammad Sholeh wafat pada tahun 1550 Hijriah/958 M. 




Sosok Presiden yang Terlupakan

Mengapa tidak banyak orang yang mengetahui sosok Pemimpin Indonesia yang satu ini?



            Mr. Syafruddin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Namun, tidak sedikit dari warga Indonesia yang tidak mengetahui sosok pemimpin ini dikarenakan jabatan tersebut hanya bersifat sementara dan jabatan tersebut merupakan amanat dari Soekarno-Hatta yang pada saat itu menjadi Presiden dan Wakil Presiden. 
Untuk lebih rincinya, silahkan baca tulisan berikut ini:
Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten, 28 Februari 1911. Beliau adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.
Di masa kecilnya akrab dengan panggilan "Kuding", dalam tubuh Syafruddin mengalir darah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Menikah dengan putri bangsawan Banten, lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai jaksa, cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur.
Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki cita-cita tinggi -- "Ingin menjadi orang besar," katanya. Itulah sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia).

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera. Ketika Belanda melakukan agresi militernya yang kedua di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra".
Telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi di karenakan sulitnya sistem komunikasi pada saat itu, namun ternyata pada saat bersamaan ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Sjafruddin Prawiranegara segera mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr TM Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara".
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijuluki "penyelamat Republik". Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, pemerintahan Republik Indonesia masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan waktu itu "ketua", namun kedudukannya sama dengan presiden.
Sjafruddin menyerahkan mandatnya kemudian kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertahankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa.
Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Syafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.

PRRI 
Akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan juga pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat, pada awal tahun 1958, Syafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lainnya mendirikan PRRI yang berbasis di sumatera tengah dan ia di tunjuk sebagai Presidennya.

Dakwah
Setelah bertahun-tahun berkarir di dunia politik, Syafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta.
"Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah," ujar ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu.
Di tengah kesibukannya sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia. Syafruddin Prawiranegara meninggal pada 15 Februari 1989 di makamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan.



Asal-usul Serang

Mengapa disebut “Serang”? Siapakah tokoh yang terlibat dalam terbentuknya “Serang”? dan Bagaimana ontologisnya?
Ternyata sebutan ibu kota provinsi Banten pada saat ini, pertama kali diberi nama “Serang” oleh penduduk sekitar yang terinspirasi dari  seorang penyebar agama islam yang bernama Sultan Syarif Hidayatullah atas inisiatif penduduk setempat. “Serang” itu sendiri bermakna “sawah”. Saat Sultan Syarif Hidayatullah meneruskan perjalanan dalam menyiarkan agama Islam, kemudian beliau tiba di satu daerah persawahan di Banten, kemudian ia menatap kagum hamparan padi yang menguning di daerah tersebut sambil berseru “Serang!”.
Untuk lebih lengkapnya, bacalah ontologis berikut:
Raden Walangsungsang dan Putri Rarasantang adalah putra putri Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan Pajajaran. Prabu Siliwangi beragama Buddha. la kembali ke agama lamanya itu setelah istrinya, Nyi Mas Subanglarang (ibunda Walangsungsang dan Rarasantang) wafat.
Suatu ketika, Walangsungsang dan Rarasantang pergi menemui Syekh Idlofi di Cirebon untuk belajar agama Islam, tanpa seizin sang ayah. Mereka belajar agama Islam dengan tekun. Setelah beberapa lama, Syekh Idlofi menyuruh Walang sungsang membuka hutan di selatan Gunung Jati untuk dijadikan sebuah pedukuhan. Walangsungsang pun melaksanakan perintah itu. Pedukuhan itu kemudian diberi nama Tegal Alang-alang dan Walangsungsang dijadikan sebagai pemimpin pedukuhan itu dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Pada suatu hari Syekh Idlofi memerintahkan Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang pun berangkat. Di tanah suci Mekah, mereka tak hanya berhaji, tetapi juga memperdalam pengetahuan mereka tentang agama Islam.
Rarasantang kemudian menikah dengan Sultan Syarif Abdullah, Raja Mesir yang seorang duda. Sultan Syarif Abdullah mengganti nama Rarasantang menjadi Syarifah Mudaim. Mereka pun dikaruniai dua orang putra, yakni Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sementara itu, setelah tiga tahun tinggal di Mesir, Pangeran Cakrabuana kembali ke Cirebon. Setiba di Cirebon, dibangunnya sebuah negeri dengan nama Caruban Larang.
Di Mesir, Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah belajar Islam dengan rajin dan tekun. Pada saat Syarif Hidayatullah berusia dua puluh tahun, ayahnya wafat. Sebagai anak yang paling tua, ia ditunjuk untuk menggantikan sang ayah sebagai Raja Mesir. Namun, Syarif Hidayatullah menolak. Diserahkannya takhta pada sang adik. Beberapa bulan kemudian, Syarif Hidayatullah dan sang ibu kembali ke Cirebon.
Dalam perjalanan ke Cirebon itu, Syarif Hidayatullah dan ibunya singgah di Mekah, Gujarat, serta Pasai. Tahun 1475 mereka pun tiba di Cirebon. Pangeran Cakrabuana menyambutnya dengan sangat sukacita. Ketika itu Syekh Idlofi sudah wafat. Syarif Hidayatullah ‘pun meneruskan jejak Syekh Idlofi mengajarkan agama Islam.
Pangeran Cakrabuana kemudian menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Pakungwati, dan mengangkatnya sebagai penguasa baru Caruban Larang. Syarif Hidayatullah kemudian pergi ke Pajajaran untuk menemui kakeknya, Prabu Siliwangi.
Prabu Siliwangi menyambut Syarif Hidayatullah dengan penuh kasih dan sukacita. Ketika Syarif Hidayatullah mengajaknya masuk Islam, Prabu Siliwangi menolak. Namun, ia tidak menghalangi Syarif Hidayatullah menyebarkan agama Islam di wilayah Padjajaran. Syarif Hidayatullah kemudian meneruskan perjalanan. la tiba di satu daerah persawahan di Banten.
“Serang!” seru Syarif Hidayatullah, sambil menatap kagum hamparan padi menguning di depannya. Ketika itu penduduk Banten sudah mengenal agama Islam dari para pedagang Arab dan Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten. Adipati Banten menyambut baik kedatangan Syarif Hidayatullah. la juga tidak menghalangi Syarif Hidayatullah menyebarkan agama Islam di daerah kekuasaannya. la bahkan menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Kawunganten. Mereka kemudian dikaruniai dua orang anak, Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingking. Pangeran Sabakingking kemudian dikenal sebagai Maulana Hasanuddin, Sultan Banten I. Daerah persawahan tempat Syarif Hidayatullah pertama kali menginjakkan kaki di Banten, kemudian dikenal dengan nama Serang (artinya ‘sawah’), sampai sekarang:

Kota Serang kini merupakan ibu kota Provinsi Banten.

Banten Jawara

BANTEN JAWARA

Apa yang terbayang di benak Anda ketika mendengar nama “Banten”? Barangkali, serangkaian kesan mistik akan segera mengemuka: santet, pelet, debus, golok, dan semacamnya. Hal ini mungkin sudah tidak perlu diperdebatkan karena Banten memang dikenal sebagai The Magic City. Lalu, apa yang ada di benak Anda ketika mendengar nama “Jawara”? Apakah istilah tersebut mampu menggiring Anda pada para pendekar berpakaian serba hitam dengan golok terselip di pinggang layaknya di film-film laga kolosal?
“Tampilan fisik jawara, dulu memakai baju (kampret) dan celana panjang longgar berwarna hitam, ikat kepala (romal) atau topi hitam, goo terselip di pinggang, serta selendang sarung gebeng. Busana tersebut dimaksudkan untuk memudahkan (melincahkan) gerak sebagai pemberani,” kata Prof. Dr. HMA. Tihami.
Itu tampilan fisik, lalu bagaimana dengan perangai? Jawara dikenal sebagai orang atau kelompok orang yang memiliki keberanian tingkat tinggi, berbicara sompral dan meledak-ledak, serta mengandalkan kekuatan ototnya. Tentu saja ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Kira-kira di abad ke-19 sampai abad ke-20, jawara juga ulama demikian intens menggerakan rakyat untuk melawan melawan otoritas kolonial Belanda. Hal ini jugalah yang membuat daerah di ujung pulau Jawa ini terkenal sebagai daerah pemberontak dan penganut Islam ortodoks.
Pada 1895, pemberontakan pertama kaum jawara meletus, dipimpin oleh Haji Wakhia. Kemudian pemberontakan petani yang dipimpin Haji Wasid pada 1888. Pemberontakan 1926 dimotori jawara yang berafiliasi ke PKI, juga revolusi sosial yang dikobarkan rakyat Banten pada 1945-1946 (Suharto:1996). Itu dalam skala nasional, akan lebih panjang daftar pemberontakan yang domotori jawara jika ditambah peristiwa lokal. Seperti pemberontakan dari Mas Jakaria (1811), Mas Hajji dan Mas Rakka (1818-1819), Mas Raye (1827), Nyi Gumparo (1836), sampai pada pemberontakan yang dipimpin Ratu Bagus Ali dan Mas Jabeng yang gagal (1839).
Lalu apakah memang jawara hanya memiliki peran sebagai pemberontak? Jika dilacak ke akar sejarahnya yang lain, ternyata jawara memiliki peran sosial yang diembannya. Dalam penelitian bertajuk “Relasi antara Jawara dan Ulama” yang dilakukan Muhammad Hudaeri, sedikitnya jawara memiliki lima peran social, di antaranya sebagai jaro, guru silat, guru  ilmu batin (magis), sebagai pemain debus, dan sebagai tentara wakaf atau khodim kiyai.
Sebagai seorang jaro, jawara memiliki tugas memimpin satu kejaroan (kelurahan). Sebutan jaro ini tak lain adalah seorang kepala desa. Pada masa kesultanan Banten, jaro diangkat oleh Sultan dengan tugas utama mengurus kepentingan kesultanan, seperti memungut upeti serta mengerahkan tenaga untuk kerja bakti. Dalam pekerjaannya, sehari-hari jaro dibantu oleh beberapa pejabat seperti carik (sekretaris jaro), jagakersa (bagian keamanan), pancalang (pengantar surat), amil (pemungut zakat dan pajak), merbot atau modin (pengurus masalah keagamaan dan masjid).
Selain sebagai jaro, jawara juga dikenal sebagai guru silat. Dalam Serat Chentini, ada keterangan yang menyebutkan bahwa pada masa pra-Islam, di daerah dekat Gunung Karang (Kabupaten Pandeglang) telah dikenal istilah paguron atau padepokan. Masyarakat Banten mengenal banyak paguron seperti Terumbu, Bandrong, Paku Banten, dan lain-lain. Tiap peguron memiliki gerakan jurus-jurus dengan karakter yang berbeda, pun dengan akar sejarah dan filosofinya. Di peguron inilah, jawara mengajarkan ilmu bela diri.
Selain ilmu silat yang bersifat fisik, jawara juga memiliki peran social sebagai guru ilmu batin (magis). Jawara yang terkenal biasanya memiliki kemampuan ilmu batin, selain ilmu bela diri yang bersifat fisik. Ilmu batin tersebut yakni kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supranatural, seperti kebal dari senjata tajam, tahan dari api, bisa mengusir jin, dan sebagainya. Dalam memperoleh ilmu kebatinan ini, diperlukan ritual khusus yakni bertapa. Aktivitas bertapa ini sudah dikenal dan dilakukan sejak Islam belum masuk ke Banten.
Satu lagi yang terkenal di Banten, yakni debus. Debus ini dilakukan oleh jawara. Debus adalah permainan yang cukup berbahaya dan mampu memerindingkan bulu kuduk orang yang biasa. Permainan debus hanya boleh dimainkan oleh jawara yang punya kemampuan di atas rata-rata. Karena jika jawara biasa, maka akan mendatangkan balai. Debus juga memiliki macam-macam tingkatan. Ada debus al-madad, debus surosowan, dan debus langitan. Debus al madad merupakan debus yang paling tinggi tingkatannya dan paling sulit. Konon, pemimpin permainan (disebut khalifah) harus melakukan “amalan” yang sangat panjang dan berat. Al madad artinya meminta bantuan atau pertolongan. Karena setiap kali melakukan permainan debus ini, pemainnya selalu mengucapkan kata-kata ‘al madad’ yang menggambarkan bahwa permainan tersebut terjadi atas pertolongan Allah Swt. Debus surosowan merupakan permainan yang tidak memerlukan kemampuan yang tinggi. Debus ini biasa dimainkan oleh para remaja. Nama “surosowan” berkaitan dengan nama istana kesultanan Banten. Debus ini biasanya dipertunjukan di dalam istana sebagai hiburan, bukan untuk mendapatkan kesaktian. Sementara itu, debus langitan adalah pertunjukan yang melibatkan anak-anak dan remaja yang menjadi objek sasaran benda-benda tajam. Dalam permainan ini, anak-anak dan remaja yang menjadi objek senjata tajam tidak akan merasa sakit atau menderita luka-luka. Debus langitan ini ditujukan sebagai permainan belaka.
Terakhir, jawara memiliki peran sebagai tentara wakaf dan khodim kiyai. Mereka biasanya berperan sebagai tenaga keamanan dalam acara-acara besar suatu organisasi atau Parpol. Pada masa orde baru, “tentara wakaf” ini dijadikan alat oleh partai penguasa sebagai satuan pengamanan di Banten. Beberapa jawara bahkan menjadi pengurus papol tersebut. Akan tetapi, perubahan politik sejak terbukanya pintu reformasi telah mengubah paradigm para jawara. Mereka tampaknya ingin lebih netral dan tidak berafiliasi ke parpol tertentu.
Jawara yang sebenarnya adalah “khodim kyai”. Itulah suara-suara yang sering muncul dari para warga yang tidak setuju dengan peran-peran dan perilaku jawara sekarang ini. Peran sebagai “khodim kyai” maksudnya berperan sesuai yang diajarkan para kyai, yakni: membela kebenaran, berpihak kepada masyarakat yang lemah, berperilaku santun dan tidak sombong dan sejumlah aturan normatif lainnya. Peran-peran yang ideal itu semakin kurang dilakukan oleh para jawara di tengah kepungan kehidupan yang materialistik.
Lalu, di zaman modern seperti saat ini, di manakah kita bisa menemukan jawara?
“Jawara itu bagian dari masyarakat. Namun sekarang lebih dominan yang ngajawara,” kata sejarawan Bonnie Triyana.
Pernyataan Bonnie Triyana ini diperkuat oleh Prof. Tihami dalam pengantarnya di buku Golok dan Tasbih karya Muhammad Hudaeri (Biro Humas Setda Provinis Banten, Oktober 2005), bahwa seiring perkembangan social, jawara telah tumbuh menjadi subkultur yang dominan. Waktu pemerintahan kolonial, jawara dicap sebagai biang keonaran. Masyarakat pun mencap mereka dengan citra negative, sombong, kurang taat beribadah, dan lebih mengedepankan kekerasan untuk kepentingan dirinya.



Generasi Saat ini, Generasi Platinum

Mengapa Generasi sekarang disebut dengan Generasi Platinum?
Setiap periode waktu memunculkan generasi tersendiri yang dapat dikenali dari karakter mereka yang khas. Dewasa ini yang mulai banyak disoroti adalah munculnya anak-anak yang disebut sebagai “Generasi Platinum”. Bersiaplah untuk manyambut dan mempersiapkan mereka menjadi generasi yang siap menyongsong masa depan.
Pemberian istilah seperti “Generasi Platinum” adalah untuk membedakan dengan generasi-generasi terdahulu. Sebelumnya yang dikenal adalah Generasi Baby Boomers, Generasi X, dan Generasi Y. Platinum sendiri bermakna sebagai sesuatu yang sangat bernilai, bahkan melebihi dari emas.
Generasi Baby Boomers adalah generasi yang lahir setelah perang dunia kedua, yaitu antara tahun 1946 hingga tahun 1964, setelah sebelumnya terus-menerus dilanda peperangan, pada periode tersebut  kondisi kehidupan masyarakat mulai membaik dan terjadi “ledakan” jumlah kelahiran di seluruh dunia, hingga muncul sebutan “baby boomers”. Pada saat generasi ini tumbuh, televisi yang menawarkan beragam acara pun mulai tumbuh. Sebagian besar dari mereka juga mengenal dan menjadikan musik rock n roll sebagai medium mengekspresikan diri. Generasi ini dikenal dengan karakteristiknya yang suka memberontak. Meski demikian generasi ini berjasa untuk membuka jalan bagi semakin luasnya kebebasan individu dan perjuangan hak-hak sipil.
Berikutnya adalah generasi yang lahir pada periode 1965 hingga 1980. Mereka disebut sebagai generasi X. Anak-anak generasi X sangat akrab dengan program musik di televisi, khususnya MTV, pada masa mereka juga muncul video game. Anak-anak pada generasi ini mamiliki karakter yang sinis, skeptis dan kurang optimis menatap masa depan. Namun generasi ini juga dikenal sebagai generasi yang sangat akrab dengan teknologi dan memiliki jiwa kewirausahaan. Dapat dilihat betapa perusahaan-perusahaan raksasa di internet adalah buatan dari anak-anak pada generasi X.
Generasi berikutnya adalah generasi Y, yaitu anak-anak yang lahir pada periode tahun 1981-1995. Generasi yang juga dikenal dengan “Generasi Millennium” ini tumbuh bersamaan dangan munculnya teknologi komunikasi canggih dan internet. Karakter khas mereka adalah cendrung menuntut, tidak sabar serta memiliki kemampuan komunikasi yang buruk. Meski terkenal cuek dan cendrung mengabaikan peraturan kantor saat bekerja, namun generasi Y ini dipuji karena semangat dan energi mereka yang luar biasa dalam bekerja.
  
Generasi Platinum
Dewasa ini kita masih terkagum-kagum dengan sepak terjang generasi millennium. Namun pelan-pelan ternyata sudah muncul generasi platinum. Mereka ini adalah anak-anak yang lahir pada awal abad ke-21 dimana masyarakat mulai terbuka dalam berbagai hal, mulai dari prilaku, pola pikir, hingga ketersediaan sarana pendidikan yang jauh lebih baik dibandingkan generasi-generasi yang sebelumnya. Intilah Platinum juga merujuk pada sesuatu yang sangat mewah dan terbaik. Wajar saja jika generasi sebelumnya baru sebatas memiliki kesempatan untuk mengakses dan menggunakan teknologi, bagi generasi platinum terbuka lebar kesempatan untuk menjelajah teknologi untuk mengembangkan diri, itu sebabnya generasi ini dicirikan oleh karakter yang lebih ekspresif dan ekploratif, selaras dengan perkembangan zaman.
Generasi Platinum hadir di saat teknologi komunikasi menuju kematangan, sehingga mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengakses dan memanfaatkan informasi. Hal itu tentu berpengaruh, dimana mereka memiliki peluang lebih baik dalam mengembangkan diri dan menjadi manusia yang berkualitas serta produktif. Generasi Platinum tidak hanya aktif dibidang akademis, melainkan juga di bidang non-akademis. Mereka adalah generasi yang siap untuk menjadi warga dunia yang multy-talented, multy-language, dan multy-disiplin.
Nah, jika saat ini generasi Y tampak mendominasi dan mulai “menyerbu” dunia dengan semangat dan energi yang luar biasa, kita jangan lupa untuk mempersiapkan diri pula menyambut munculnya generasi berikutnya yang luar biasa-yaitu Generasi Platinum.
Jika Anda ingin Generasi Platinum ini menjadi penerus dan pemegang kunci masa depan yang dapat diandalkan, Anda harus mempersiapkanya sejak dini dengan memberikan semua yang terbaik. Bukan hanya dengan mengarahkan serta membimbing mereka untuk menguasai teknologi dan informasi, kekuatan Iman, akhlak yang mulia, dan mengenal siapa Tuhannya adalah kunci utama untuk menciptakan peradaban dunia baru yang lebih baik dari sebelumnya.